Mohon tunggu...
Sigit R
Sigit R Mohon Tunggu... Freelancer - masjid lurus, belok kiri gang kedua

Pedagang tanaman hias, menulis di waktu senggang, prefer dari teh daripada kopi, tinggal di Batam

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Bayangkan Jika Metallica Dijadwalkan Konser di Batam

24 November 2019   15:47 Diperbarui: 24 November 2019   16:21 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah pengunjung dari Singapuran melintasi jembatan penghubung pelabuhan dan mall di Batam, belum lama ini. Foto/Joko Sulistyo

Bayangkan hiruk pikuknya pemesanan tiket pesawat, pemesanan kamar hotel, ribetnya pencarian nama kenalan lama dalam kontak ponsel, sampai lonjakan viewer di kanal-kanal yang memutar videoklip Metallica jika betul ada informasi mereka akan mentas di Batam. Begitulah kira-kira sebuah agenda hiburan akan memberi dampak seketika pada bisnis pariwisata.

Menteri Pariwisata periode 2014-2019 Arief Yahya pada awal tahun ini menargetkan angka kunjungan wisata ke Batam, Kepulauan Riau sebesar 2,4 juta. Hingga awal Oktober, angka tersebut sudah menembus 1 juta lebih wisatawan mancanegara. Angka pasti yang dikeluarkan oleh Dinas Pariwisata Kota Batam adalah 1.086.796 orang wisatawan mancanegara.

Dalam rilisan yang sama, tiap bulan, rerata jumlah wisman yang berkunjung ke Batam sekitar 140-150 ribu orang. Sayangnya, data kunjungan itu hanya sekedar catatan imigrasi dari 4 pelabuhan internasional yang melayani pelayaran dari Singapura dan Malaysia.

Sulit memastikan warga asing yang tiba di Batam adalah wisatawan, kendati petugas imigrasi biasanya menanyai mereka satu persatu. Hal itu beralasan, karena jumlah kunjungan wisman ke Batam seakan memberikan dampak yang minim saja. Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Batam per Oktober 2019 bahkan menyebut tingkat okupansi hotel di Batam tidak sehat. Dua catatan tak linier itu kerap luput dari perbincangan pengambil kebijakan pariwisata di Batam.

Ketua PHRI Batam Muhammad Mansyur, dikutip dari www.batamnews.co.id menyebut, indikasi okupansi sakit itu dapat dilihat dari harga jual kamar. Hotel bintang 4 di Batam menjual kamarnya pada tengah pekan sebesar Rp400 ribu melalui sejumlah situs reservasi.

Jika tarif bintang empat serendah itu, dapat dibayangkan patokan tarif yang ditetapkan oleh hotel kelas yang lebih rendah di Batam. Mansyur menyebut, memang terjadi penambahan jumlah hotel hingga mencapai lebih dari 200 unit. Namun okupansi tetap tidak sesuai ekspektasi, meskipun pada musim liburan.

Ada dugaan pelaku industri akomodasi memakan mentah-mentah data kunjungan wisata, kemudian merespon dengan menanam investasi besar untuk membuka hotel. Biang keladi permasalahan itu bisa jadi adalah strategi yang tidak tepat merespon target jumlah kunjungan dari Kemenpar, atau sebaliknya, Kemenpar termakan paparan data kunjungan warga asing yang diklaim sebagai wisatawan.

Dari data paparan stakeholder pariwisata, menteri beroleh angka masuknya warga asing yang cukup tinggi. Kemungkinan, Arief melihat jumlah itu sebagai potensi dan harus ditingkatkan. Arief Yahya bahkan tercatat beberapa kali melakukan kunjungan kerja dan menggelar beberapa event di Batam.

Sejumlah pengunjung dari Singapuran melintasi jembatan penghubung pelabuhan dan mall di Batam, belum lama ini. Foto/Joko Sulistyo
Sejumlah pengunjung dari Singapuran melintasi jembatan penghubung pelabuhan dan mall di Batam, belum lama ini. Foto/Joko Sulistyo

Selain indikator okupansi dari PHRI, pembangunan destinasi dan agenda wisata Batam juga tidak terlalu istimewa. Sejumlah destinasi andalan dapat dibuktikan juga tidak terlalu ramai dengan turis asing.

Akibatnya, Batam tidak terlalu masif membangun destinasi wisata baru. Proyek-proyek destinasi wisata yang baru biasanya karena pemberdayaan saja. Pola pendampingannya pun minim, sehingga masyarakat dibiarkan latah mengikuti tren.

Data kunjungan wisata yang tak sesuai dengan laju bisnis pariwisata itu jika ditelisik bisa jadi akibat generalisasi pendatang asing di pintu masuk sebagai wisatawan. Bisa jadi, sebagian dari yang dihitung sebagai wisatawan itu mungkin pekerja, relasi bisnis dari ratusan perusahaan asing yang ada di berbagai kawasan industri. Tak sedikit warga asing itu datang untuk urusan pekerjaan. Mereka tinggal di apartemen,  mess perusahaan, atau bahkan kembali ke Singapura atau Malaysia pada hari yang sama. Hal itu sangat mungkin karena banyak perusahaan di Batam memiliki kantor pusat di Singapura.

Belum lagi ada kemungkinan catatan itu tercampur dengan jiran yang datang untuk berbelanja kebutuhan harian. Wisatawan belanja kebutuhan dapur ini biasanya masuk melalui Pelabuhan Internasional Batam Centre dan langsung masuk ke mall yang ada di seberangnya. Jangankan menginap, menggunakan jasa pemandu, mengikuti paket dari agen perjalanan, atau menyewa transportasi yang dikelola pelaku industri wisata. Mereka hanya perlu berjalan kaki melewati jembatan penyeberangan yang terhubung langsung dengan lantai 2 mall.

Terletak berdekatan dengan pelabuhan, terdapat alun-alun, masjid, taman kuliner dan berbagai tempat makan. Namun biasanya, pada akhir pekan warga Singapura langsung masuk ke mall, menuju lantai dasar, berbelanja mie instan dan barang keperluan rumah tangganya. Usai berbelanja, mereka langsung pulang, melalui jembatan dan pelabuhan yang sama. Tak banyak yang mampir hanya sekadar melongok jajanan di pasar kuliner seberang Asrama Haji misalnya.

Bukannya tidak menguntungkan, namun mereka bukan wisatawan yang diharapkan dapat memberi efek ekonomi kepada pelaku industri pariwisata di Batam. Kunjungan mereka ke Batam ibaratnya hanya dinikmati oleh peritel besar yang menyewa lantai di mall. Jadi kurang tepat rasanya memasukkan mereka dalam hitungan wisatawan.

Tipe lain dari pengunjung akhir pekan adalah, kaum paruh baya Singapura yang mencari pelepasan syahwat di Batam. Masyarakat Batam lazim menyebut mereka sebagai apek. Para apek ini biasanya menginap di hotel-hotel kecil yang bertebaran di kawasn bisnis Nagoya untuk menyalurkan hasratnya. Banyak juga yang menginap di rumah-rumah kontrakan, atau membeli hunian atas nama pasangan tak resminya.

Pemerintah Kota Batam bukan tidak berupaya menarik para pengunjung agar tinggal lebih lama. Namun kerap kali agenda wisata yang diselenggarakan kurang menarik dan miskin inovasi. Pameran kuliner, karnaval budaya, kemudian panggung musik memang sering diadakan. Namun kadang hanya terkesan asal terlaksana.

Ambil contoh Asian Jazz Festival. Beberapa kali gelaran musik hidup itu diadakan, line up penampil di panggung itu berkisar pada penampil yang itu-itu saja. Bukan tidak boleh, namun Batam seakan kurang belajar dari agenda kegiatan sebelumnya, tidak ramai tetapi diulang tahun berikutnya.

Ferry cepat rute Batam - Singapura. Foto/Joko Sulistyo
Ferry cepat rute Batam - Singapura. Foto/Joko Sulistyo

Berbeda hal dengan Singapura yang menjual habis potensi wisatanya, Batam sejauh ini tidak memiliki galeri seni yang representatif, museum yang memadai, atau gedung pertunjukan yang standar. Jika ada warga jiran datang menyaksikan pertunjukkan, biasanya sifatnya insidental saja.

Batam seperti tidak pernah melirik dan berupaya merebut wisatawan Singapura. Negeri kecil itu menjadi destinasi wajib bagi penggemar wisata belanja hingga penikmat musik. Jika ada musisi atau band kenamaan manggung di Singapura, sudah sangat biasa bagi warga berbagai provinsi di Indonesia menonton ke sana.

Menarik wisatawan berkunjung tidak sekadar membuat bangunan, tidak hanya sekedar membuat landmark. Kreativitas dan inovasi perlu dilakukan untuk dapat bersaing dalam perebutan kue dalam industri wisata.

Jika tujuannya adalah meningkatkan pendapatan, ada baiknya Batam membangun sesuatu untuk bersaing head to head dengan Singapura. Bisa membangun arena konser, gedung pertunjukkan, galeri atau menyulap lahan kosong jadi sirkuit balap moderen misalnya.

Jika Batam memiliki stadion yang memadai untuk sebuah pertunjukan besar, tinggal mendorong promotor untuk merancang festival dan mendatangkan musisi kelas dunia. Tidak perlu sekelas Woodstock, Glastonburry, atau Lollapalloza, sekelas event di Jakarta pun jadi. Bayangkan, seandainya grup musik dengan basis penggemar besar seperti Metallica, Guns and Roses, Iron Maiden, atau girl/boyband Korea konser di Batam. Dapat dipastikan, banyak fans asal Singapura, Malaysia dan dari provinsi lain di Indonesia yang berminat menonton. Mereka akan menginap di Batam.

Dari sebuah konser yang katakanlah dapat menyedot 60 ribu pengunjung saja, potensi pajak hiburan, hotel dan restoran cukup besar. Belum lagi efek rembesan yang dapat dinikmati pelaku usaha kecil, dari pedagang teh tarik hingga tukang sablon marchendise. 

Dampak ekonomi itu jauh akan lebih diterima daripada hanya sekadar suguhan angka kunjungan. Dunia wisata moderen mengenal MICE, akronim dari Meeting, Incentive, Conference, Exhibition. MICE menyasar wisatawan yang memerlukan tempat, organizer dan akomodasi lainnya untuk pertemuan, insentif, konferensi dan pameran. Jika konsep itu dieksekusi saja dapat meningkatkan pendapatan, apalagi jika dimodifikasi dengan berbagai inovasi kreatif.

Pelaut dari Rusia menukar uang di Harbor Bay. Foto/Joko Sulistyo
Pelaut dari Rusia menukar uang di Harbor Bay. Foto/Joko Sulistyo

Memang kerap Batam digunakan untuk berbagai acara berskala nasional. Namun lagi-lagi Singapura yang memanen dampaknya. Tak perlu agenda besar seperti konferensi tingkat tinggi, kegiatan yang diikuti oleh instansi pemerintah daerah saja, biasanya lanjut dengan kunjungan ke Singapura. Bahkan, staf tata usaha instansi pemerintahan di Batam kebanyakan sudah hafal. Apapun agendanya, dari studi banding, bimbingan teknis, simposium dan sejenisnya, yang paling dikejar biasanya stempel SPPD. Setelah beres menstempel surat perjalanan, rekreasi ke Orchard Road, Merlion, Universal Studio, atau minimal sampai di Vivo City.

Dari sisi dalam negeri, Batam yang memiliki keuntungan letak strategis juga tidak terpancing ikut menjual atraksi dan destinasi alamnya saat ada penjualan langsung paket wisata di Batam oleh sejumlah daerah lain.

Batam gigit jari. Wisatawan asing hanya sekedar beli mie instan, sementara pengunjung lokal hanya numpang stempel. Kedua-duanya tidak membelanjakan banyak uang di Batam. Jikapun berbelanja, yang paling diburu adalah barang impor atau barang pasar gelap dengan harga miring.

Batam harus menyadari, pajak itu tidak hanya sekedar ditetapkan. Namun pelaku industri juga perlu distimuli agar mampu memutar usaha, sehingga bisa menyetor kepada negara. Selain itu, penciptaan peluang usaha itu juga sedikit banyak akan memandirikan warga, bahkan mungkin membesarkannya.

Merawat warga yang tulang punggung keluarga bukan hanya dengan memberi, tapi juga memberikan kesempatan, menciptakan peluang dan memberikan kesempatan pada mereka untuk menjadi tulang yang lebih kokoh. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun