Mohon tunggu...
Sigit Priatmoko
Sigit Priatmoko Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Peneliti, Penulis Buku, Pegiat Literasi

Selain sebagai dosen, saya juga sehari-hari sebagai Editor in Chief Madrasah: Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Dasar. Saya juga aktif dalam komunitas literasi bernama Kita Belajar Menulis (KBM) yang basisnya di Kabupaten Bojonegoro.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengapa Sulit Menemukan Topik Skripsi? Ini Akar Masalahnya

19 Juni 2024   06:19 Diperbarui: 21 Juni 2024   01:30 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa Keluhan

Kesulitan menemukan topik penelitian merupakan salah satu masalah yang dihadapi sebagian besar mahasiswa semester akhir. Umumnya mereka mengalami kesulitan menemukan "masalah" yang akan dijadikan topik penelitian tugas akhir. 

Hasil ngobrol dengan beberapa mahasiswa semester enam yang baru saja mengikuti program Asistensi Mengajar (AM), mayoritas dari mereka menuturkan bahwa mereka tidak melihat masalah apa-apa di sekolahan. 

"Tidak ada masalah apa-apa, Pak. Normal-normal saja," begitu celetuk mereka ketika saya tanya. 

Sebagian yang lain memang sudah berhasil menemukan topik penelitian, namun kesulitan menjawab ketika ditanya urgensi dan kebaruan topik yang mereka temuan itu.


Setelah berdialog lumayan intens, beberapa permasalahan mendasar yang menyebabkan kesulitan di atas berhasil saya identifikasi. 

Pertama, sempitnya perspektif. Mahasiswa cenderung melihat fenomena atau objek pengamatan hanya dari satu sisi saja. Akibatnya, mereka kesulitan menemukan "penampakan" lain dari fenomena atau objek tersebut. 

Sebagai contoh, ketika mereka melihat siswa, topik penelitian yang terpikirkan hanya seputar hasil belajar (nilai), karakter, dan motivasi. Padahal ada banyak sekali dimensi dari siswa yang bisa diteliti, seperti gaya belajar, keterampilan 4C (Critical Thinking, Creative Thinking, Communication, dan Collaboration), gaya belajar, kesulitan belajar, perkembangan kognitif, perkembangan moral, dan persepsi mereka.

"Sempitnya wawasan membuat mahasiswa tidak bisa memperbesar dan/atau menggeser perspektif mereka terhadap suatu fenomena atau obyek. Mereka terkurung oleh dinding-dinding pengetahuan yang mereka miliki"


Kedua, sempitnya wawasan. Barangkali masalah kedua inilah yang menjadi penyebab masalah pertama di atas. Sempitnya wawasan membuat mahasiswa tidak bisa memperbesar dan/atau menggeser perspektif mereka terhadap suatu fenomena atau obyek. Mereka terkurung oleh dinding-dinding pengetahuan yang mereka miliki. Akibatnya, proses pencarian topik penelitian akan berkutat di situ-situ saja. 

Misalnya pada topik hasil belajar. Mereka memahami obyek hasil belajar ini sebatas pada nilai dan pemahaman konsep. Padahal hasil belajar dapat diderivasi menjadi banyak elemen, seperti sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Ketiga elemen tersebut masih bisa juga diderivasi ke aspek-aspek yang lebih konkrit.


Ketiga, minimnya bacaan. Perspektif dan wawasan yang luas dapat diperoleh dari bahan bacaan yang luas dan beragam. Untuk menentukan topik riset, kita harus membaca berbagai literatur tentang topik itu agar kita memperoleh gambaran sudah sejauh mana topik tersebut diteliti orang lain. Dengan demikian, kita bisa menemukan celah atau gap yang belum banyak diperhatikan peneliti sebelumnya. 

Masalahnya, upaya ini belum dilakukan oleh mahasiswa. Bacaan mereka terhadap artikel-artikel jurnal ilmiah masih sangat terbatas. Tak banyak dari mereka yang akrab dengan data base jurnal.

Akar Masalah dan Solusinya
Dari sini dapat kita tarik benang merah bahwa akar masalah utama mengapa mahasiswa kesulitan menemukan topik penelitian adalah minimnya bacaan terhadap literatur ilmiah. Maka dari itu, sebelum mahasiswa memasuki semester akhir, diperlukan pembiasaan mengakses dan membaca artikel-artikel jurnal ilmiah sesuai dengan bidang dan minat mereka. 

Budaya penelitian perlu dibentuk dalam diri mahasiswa sedini mungkin. Pembelajaran di kelas harus diupayakan memberikan ruang yang luas bagi mahasiswa untuk membangun pengetahuan dan pengalaman mereka tentang penelitian. Model-model pembelajaran seperti Project-Based Learning, Problem-Based Learning, Inquiry Learning, dan Discovery Learning dapat diakomodasi untuk memenuhi kebutuhan ini.

"Budaya penelitian perlu dibentuk dalam diri mahasiswa sedini mungkin. Pembelajaran di kelas harus diupayakan memberikan ruang yang luas bagi mahasiswa untuk membangun pengetahuan dan pengalaman mereka tentang penelitian"


Dosen perlu merancang tugas-tugas kuliah yang sebisa mungkin mendorong mahasiswa membaca hasil-hasil riset termutakhir. Pada konteks ini, membuat literature review atau tinjauan pustaka tentang tema-tema tertentu dapat menjadi solusi. Selain memperluas wawasan, mahasiswa juga dapat mengembangkan nalar kritis mereka. 

Tugas lainnya yang dapat digunakan untuk membentuk budaya riset adalah tugas makalah. Sebelum memberikan tugas ini, dosen menjelaskan langkah kerja ilmiah yang bisa digunakan mahasiswa dalam menulis makalah. Selain itu, dosen juga perlu memberikan guidelines referensi dengan membatasi pada artikel jurnal maksimal terbit lima tahun terakhir.

Untuk mendukung usaha-usaha tersebut, mengenalkan data base ilmiah sejak awal sangat diperlukan. Tidak ada salahnya sejak semester awal mahasiswa dibiasakan mengakses dan membaca referensi dari data base seperti Google Scholar, ERIC, Sciendirect, Springer link, Taylor and Francis, dan Emerald. 

Akan lebih bagus lagi jika dosen memberikan pelatihan online research skills sejak awal-awal perkuliahan. Termasuk bagaimana cara menggunakan manajer referensi seperti Zotero dan Mendeley. Tak kalah penting juga dalam konteks ini adalah mengajarkan integritas akademik  dalam proses penelitian.


Salah satu kelemahan pendidikan tinggi kita adalah rendahnya budaya riset. Lihat saja kinerja publikasi ilmiah internasional kita yang masih kalah dengan tetangga sebelah. 

Merujuk pada data Scimago Journal & Country Rank, Indonesia berada di urutan ke-38 di bawah Singapura ( peringkat 35) dan Malaysia (peringkat 26). Padahal kita memiliki mahasiswa dengan jumlah yang begitu besar. Bayangkan jika semuanya berhasil mempublikasikan artikel ilmiah di jurnal internasional. Peringkat publikasi kita tentu akan terdongkrak naik. 

Sayangnya hal itu masih "jauh panggang dari api" karena belum didukung dengan sistem pembelajaran dan sarana yang memadai. Permasalahan yang dihadapi mahasiswa sebagaimana dijelaskan di awal tulisan ini menunjukkan lemahnya budaya meneliti mahasiswa kita. Hanya untuk menentukan topik penelitian saja, masih banyak mahasiswa yang mengalami kesulitan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun