Beberapa waktu lalu, jagat Twitter dihebohkan oleh curhatan seorang netizen yang mengaku lulusan Universitas Indonesia (UI) jurusan teknik mesin yang kalah saing dengan lulusan Sekolah Teknik Mesin (STM) saat melamar kerja di PT. PAL Indonesia, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pembuatan kapal.Â
Penyebab kalah saing tersebut adalah si lulusan STM memegang sertifikat juru las (welder) dan memiliki pengalaman kerja di Italia. Selaku pemberi kerja, PT. PAL memberikan klarifikasi bahwa juru las di PT. PAL memang harus memiliki keahlian di berbagai teknik pengelasan. Juru las di PT PAL juga harus tersertifikasi dan memiliki jam terbang yang tinggi. Hal itu tidak dimiliki si lulusan UI (detikfinance, 2023).
Kejadian di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa dalam persaingan dunia kerja hari ini, tidak lagi berpatokan pada jenjang pendidikan. Kompetensi dan pengalaman kini menjadi faktor dominan bagi pemberi kerja untuk memilih siapa yang layak bergabung bersama mereka.
Fenomena di atas memperjelas penyebab tingginya angka pengangguran sarjana di negara kita. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia pada bulan Agustus sebanyak 8,43 juta jiwa. Sebanyak 7,99% (673,49 ribu) dari jumlah tersebut merupakan lulusan perguruan tinggi. Tingginya pengangguran sarjana ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga secara global. Di Amerika Serikat misalnya, dari 1.000 lulusan perguruan tinggi AS, 45% di antaranya masih mencari pekerjaan (detikEdu, 2022).
Akar Masalah
Salah satu penyebab tingginya sarjana pengangguran adalah ketidaksesuaian keterampilan yang dimiliki dengan kebutuhan lapangan kerja. Menurut Bimo Ario Tejo (detikEdu, 2019), sebagian besar lapangan pekerjaan di Indonesia tidak menuntut jenjang pendidikan tinggi, misalnya pertanian dan perikanan. Untuk bekerja di sector ini, tidak harus lulus dari perguruan tinggi. Selain itu, dampak dari revolusi industri 4.0 yang melahirkan profesi-profesi baru bahkan tidak membutuhkan ijazah, misalnya layanan transportasi online, desain grafis, website developer, dan online shop.
Faktor lain yang juga menjadi penyebab tingginya sarjana pengangguran adalah salah jurusan. Persoalan klasik ini masih banyak dialami lulusan perguruan tinggi. Pada waktu mendaftar sebagai mahasiswa baru, mereka hanya mementingkan prestis dari perguruan tinggi yang diminati, bukan pada keahlian apa yang akan mereka peroleh. Terkadang mengikuti perintah orang tua tanpa mempertimbangkan passion mereka sendiri. Dampaknya, mereka 'setengah hati' ketika mengikuti perkuliahan.
Dua faktor di atas kemudian diperparah oleh model pembelajaran yang berlangsung di perguruan tinggi. Kompetensi yang marketable dan pengalaman langsung yang relevan dengan kebutuhan lapangan kerja belum menjadi orientasi utama proses pembelajaran di kampus. Alih-alih, mahasiswa banyak disibukkan dengan kerja-kerja teoritis dan dipenjara oleh dinding-dinding ruang kelas. Meminjam istilah Masdar Hilmy, ada jarak antara pembelajaran dengan dunia nyata.
Tidak berhenti di situ, banyak sekarang perguruan tinggi yang terlalu fokus pada peningkatan reputasi baik di lingkup nasional maupun global. Banyak sumber daya yang dikerahkan untuk mendapatkan rekognisi dari lembaga pemeringkatan dan lembaga akreditasi internasional. Namun, sayangnya hal tersebut tidak diiringi oleh peningkatan kompetensi mahasiswanya.
Kesiapan Karir Mahasiswa
Selain skripsi, karir menjadi persoalan lain yang juga perlu mendapatkan perhatian serius mahasiswa tingkat akhir. Sayangnya, banyak mahasiswa yang kurang memperhatikan hal ini. Kesiapan karir berperan penting membantu mahasiswa menentukan apa yang akan mereka lakukan setelah lulus. Lapangan pekerjaan manakah yang akan mereka masuki, keterampilan apa yang dibutuhkan, bagaimana mencari informasi tentang hal itu, dan bagaimana jenjang karirnya merupakan beberapa pertanyaan yang dapat dengan mudah dijawab jika mahasiswa telah memiliki kesiapan karir.
Jika kita merujuk teori Career Development dari Donald E. Super, mahasiswa masuk ke dalam Fase Eksplorasi (Usia 15-24 tahun). Pada tahap ini, individu mulai menyadari bahwa pekerjaan merupakan suatu aspek dalam kehidupan. Pilihan pekerjaan individu pada tahap ini seringkali tidak realistis dan masih berkaitan erat dengan kehidupan permainannya. Kata kunci pada tahap ini adalah "mencoba" melalui kelas, pengalaman kerja, hobi, pilihan tentatif, dan pengembangan keterampilan.
Dalam hal pengembangan karir, Donald E. Super menekankan pentingnya pengembangan konsep diri. Konsep diri berubah dari waktu ke waktu dan berkembang sebagai hasil dari pengalaman. Dia melihat pilihan karir sebagai proses penerapan konsep diri, peran kerja sebagai manifestasi dari kedirian, dan pengembangan karir sebagai proses aktif untuk meningkatkan kecocokan antara konsep diri seseorang dan lingkungan kerja. Dengan demikian, pengembangan karir bersifat seumur hidup.