Mohon tunggu...
Sigit Priatmoko
Sigit Priatmoko Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Peneliti, Penulis Buku, Pegiat Literasi

Selain sebagai dosen, saya juga sehari-hari sebagai Editor in Chief Madrasah: Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Dasar. Saya juga aktif dalam komunitas literasi bernama Kita Belajar Menulis (KBM) yang basisnya di Kabupaten Bojonegoro.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Korupsi dan Peran Mahasiswa dalam Pemberantasannya

27 Mei 2022   12:30 Diperbarui: 28 Mei 2022   04:55 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menegakkan hukum dalam memberantas korupsi (KOMPAS/JITET)

Jika kita membaca sejarah kolonialisme, kita akan menjumpai fakta bahwa dampak korupsi dari dulu hingga sekarang memang luar biasa. Misalnya seperti yang terjadi VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Salah satu penyebab bubarnya kongsi dagang yang menjadi cikal bakal kolonialisme Belanda atas bangsa kita ini adalah maraknya tindak korupsi di dalamnya. 

Bahkan, tidak hanya korupsi, tapi juga kolusi dan nepotisme di samping faktor lain seperti konflik perang berkepanjangan dan persaingan dagang.

VOC dinyatakan bangkrut dan bubar pada tanggal 31 Desember 1799. Hak milik VOC kemudian diambil alih pemerintah Belanda. 

Tidak sekadar bangkrut, VOC juga mempunyai utang sebanyak 136,7 juta Gulden dan kehilangan harta kekayaan berupa kantor dagang, gudang, benteng, kapal, serta daerah kekuasaan di Indonesia. Bubarnya VOC menjadi awal kolonialisme Belanda di tanah air kita.

Sebagaimana kita ketahui dan rasakan, sampai detik ini, korupsi masih menjadi penyakit akut yang menggerogoti Indonesia. Gara-gara korupsi, Indonesia harus menelan begitu banyak kerugian keuangan. 

Berdasarkan catata ICW (Indonesian Corruption Watch), pada tahun 2021 saja, kerugian keuangan Indonesia akibat korupsi sebesar Rp 62,9 Triliun. Bagaimana dengan tahun 2022? Kemungkinan besar akan bertambah.

Mengapa korupsi begitu akut di negara kita? Padahal sejak 2003, kita sudah punyak KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Tentu ada banyak faktor yang menjadi penyebabnya. 

Dalam buku Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2011), menurut beberapa riset disebutkan bahwa penyebab korupsi yang berasal dari dalam diri pelakunya adalah sikap tamak, gaya hidup konsumtif, kurangnya keteguhan hati, dan malas. Selain faktor dari dalam diri individu, ada juga faktor yang berasal dari luar.  

Menurut ICW, secara umum ada empat faktor penyebab korupsi, yaitu faktor politik, hukum, ekonomi, dan birokrasi serta faktor transnasional. 

Faktor politik salah satu di antaranya adalah masuknya kepentingan pribadi dan golongan dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab pemegang kekuasaan. Termasuk dalam hal ini adalah penggunaan politik uang, pemerasan, suap, penggelapan dana publik, dan sebagainya untuk kepentingan pribadi, misalnya untuk ongkos politik.

Hukum juga menjadi faktor penyebab korupsi. Faktor ini dapat dilihat dari dua sisi, yaitu aspek produk hukum dan aspek penegakan hukum. Adanya pasal karet yang multi tafsir, pasal diskriminatif, kontradiksi dan overlapping dengan peraturan lain, serta sanksi yang kurang ekuivalen dengan perbuatan korupsi merupakan sederet contoh aspek buruknya produk hukum. 

Kondisi ini semakin diperparah oleh buruknya penegakan hukum. Misalnya, ada diskriminasi terhadap pelaku dalam proses penegakan hukum atas suatu kasus korupsi.

Kompleksnya faktor penyebab korupsi seperti disinggung di atas, menunjukkan bahwa dalam memberantas tindak pidana kejahatan luar biasa ini tidak mungkin dititikberatkan pada satu bidang atau disiplin keilmuan saja. Sebaliknya, dibutuhkan kerja sama lintas keilmuan untuk mengatasinya. 

Misalnya, ilmu hukum hanya bisa digunakan untuk menyelesaikan faktor yang berhubungan dengan peraturan saja, padahal kondisi psikologis, ekonomi, dan tingkat pendidikan juga turut menjadi penyebab korupsi. Bahkan budaya dan sikap serta perilaku masyarakat juga dapat mendukung lahirnya koruptor.

Dalam bidang pendidikan, pendidikan tinggi menjadi salah satu jenjang yang tidak bisa lepas dari tanggung jawab upaya pemberantasan korupsi. 

Perguruan tinggi perlu mendesain kurikulum dan budaya kampus yang mendukung sikap anti korupsi. Dalam konteks ini, mahasiswa juga memiliki peran penting untuk dimainkan.

Sejarah mencatat, mahasiswa memainkan peran penting dalam mengantarkan pembaruan dan transformasi di Indonesia. Banyak peristiwa-peristiwa besar yang dimotori oleh mahasiswa. 

Kebangkitan nasional pada 1908, Sumpah Pemuda pada 1928, hingga proklamasi kemerdekaan pada 1945, semuanya tidak lepas dari peran mahasiswa. 

Pasca kemerdekaan, di era Orde Baru, mahasiswa juga menjadi watch dog otoritarianisme rezim. Puncaknya pada Mei 1998, pada peristiwa reformasi, mahasiswalah yang menjadi aktor pentingnya.

Oleh karena itu, upaya pemberantasan korupsi juga tidak boleh meninggalkan mahasiswa di belakang. Peran yang dapat dimainkan mahasiswa dapat dikelompokkan ke dalam empat wilayah, yaitu di lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, lingkungan kampus, dan tingkat lokal/nasional. 

Di lingkungan keluarga, mahasiswa dapat mengamalkan sikap anti korupsi dalam kehidupan sehari-hari, seperti jujur kepada orangtua, melaksanakan dengan penuh tanggung jawab peraturan keluarga, menunaikan amanah dengan penuh tanggung jawab, dan sebagainya.

Di lingkungan kampus, nilai-nilai anti korupsi juga dijadikan sebagai pedoman berperilaku. Tidak melakukan plagiasi, menjalankan tata tertib, belajar dengan tekun, berbicara santun, menjunjung sikap demokratis merupakan beberapa contoh yang bisa mahasiswa lakukan. 

Selain itu, mereka juga dapat menunjukkan komitmen terhadap pemberantasan korupsi dengan bergabung ke dalam gerakan anti korupsi, ikut unjuk rasa jika ada indikasi penyelewengan di tubuh pemerintah, dan senantiasa bersikap kritis. Mahasiswa juga dapat menuangkan komitmennya ke dalam karya-karya akademis yang dimuat di jurnal atau media massa.

Di lingkungan masyarakat, peran mahasiswa dapat berbentuk seperti menjaga ketertiban, tidak merusak fasilitas umum, berinteraksi dengan santun, ikut mengawasi penyimpangan yang terjadi di masyarakat dan melaporkannya ke pihak yang berwajib. 

Mahasiswa juga dapat turut serta mengawasi bagaimana kualitas pelayanan publik di masyarakatnya, apakah sudah menerapkan prinsip-prinsip keadilan.

Terakhir, peran di tingkat lokal atau nasional dapat dilakukan misalnya melalui organisasi yang mahasiswa ikuti di kampus maupun luar kampus. Melalui organisasi tersebut, mahasiswa dapat terus memperjuangkan aspirasinya hingga kancah nasional. Misalnya, mahasiswa dapat menyebarluaskan perilaku anti korupsi melalui kegiatan-kegiatan organisasinya. Semakin terorganisir sebuah seruan kebaikan, maka akan semakin efektif.

Setidaknya, demikian itulah sekelumit peran yang dapat dimainkan mahasiswa dalam pemberantasan korupsi. 

Sebagai generasi penerus yang nantinya akan mewarisi negeri ini, hendaknya mahasiswa tidak bersikap apatis dan apriori atas apa yang sedang diderita oleh negeri ini. Mahasiswa perlu melibatkan diri dalam upaya pemberantasan korupsi. Langkah paling mudah adalah memulai dari diri sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun