- Judul Buku: Muhammadiyah Jawa
- Penulis: Ahmad Najib Burhani
- Jumlah halaman: xxii + 206
- Penerbit: Al-Wasat Publishing House
- Tanggal-bulan-tahun diterbitkan: Juni 2010Â
- ISBN: 978-979-19415-0-3
Ambigu, begitulah istilah yang tepat menurut Ahmad Najib Burhani untuk menggambarkan sikap Muhammadiyah terhadap budaya Jawa. Ahmad Dahlan, sang pendiri, memberi gambaran paling pas tentang ambiguitas Muhammadiyah terhadap budaya Jawa. Ia tetap menjadi abdi dalem yang patuh dan setia pada keraton Yogyakarta hingga akhir hayatnya. Meskipun ia pemimpin sebuah organisasi modern (hal. 156).
Ahmad Najib Burhani merupakan satu dari sekian banyak kader muda Muhammadiyah yang merepresentasikan progresivitas persyarikatan ini. Peneliti dan penulis yang prolifik ini beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal 27 agustus 2020 lalu telah dikukuhkan sebagai guru besar bidang Agama dan Tradisi Keagamaan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Ia menyampaikan orasi ilmiah dengan judul Agama, Kultur (In)Toleransi, dan Dilema Minoritas di Indonesia.
Buku ini merupakan terjemahan dari tesis master penulisnya sewaktu menempuh pendidikan di Universitas Leiden Belanda. Tesis tersebut berjudul The Muhammadiyah’s Attitude to Javanese Culture in 1912-1930: Appreciation and Tension. Fokus utama riset tersebut dan sekaligus menjadi isi buku ini adalah menggali sikap Muhammadiyah terhadap budaya Jawa dalam rentang tahun 1912 sampai dengan 1930.Â
Di masa-masa awal tersebut, menurut hasil penelusuran Najib, Muhammadiyah menunjukkan sikap terbuka dan bahkan akomodatif terhadap budaya dan tradisi Jawa.Â
Hal ini ditunjukkan oleh setidaknya empat bukti yang memperkuat asumsi in. Pertama, pendiri Muhammadiyah adalah para priyayi Kraton Yogyakarta. Ahmad Dahlan sendiri merupakan seorang Abdi Dalem dengan gelar Raden Ngabehi. Dahlan merupakan seorang Ketib dengan gelar Ketib Amin. Ketib merupakan abdi dalem yang bertanggungjawab atas urusan keagamaan.
Kedua, busana yang dikenakan para pendiri dan anggota Muhammadiyah masa awal lebih condong ke busana Jawa. Bahkan, pada Muktamar Muhammadiyah di Solo tahun 1929, panitia mewajibkan penggunaan busana adat sebagai dress code. Ketiga, sebelum digantikan Bahasa Indonesia, Bahasa Jawa merupakan bahasa resmi Muhammadiyah.Â
Muhammadiyah memperkenalkan khutbah Jum’at dalam bahasa masyarakat setempat. Hal ini dilakukan supaya isi dari khutbah dapat dipahami oleh jamaah.
Kelima, Muhammadiyah memiliki hubungan erat dengan Boedi Oetomo yang merupakan organisasi dengan tujuan utama membangun kembali budaya Jawa. Boedi Oetomo juga berperan besar dalam mendukung pendirian Muhammadiyah. Terakhir, Muhammadiyah masa awal tidak pernah menolak upacara grebek yang diselenggarakan oleh Kraton Yogyakarta. Para penghulu yang terlibat aktif dalam upacara tradisional tersebut merupakan pimpinan Muhammadiyah.
Keenam sikap tersebut seakan kontradiktif dengan sikap yang dilekatkan masyarakat pada Muhammadiyah belakangan ini. Muhammadiyah dianggap sebagai organisasi massa kegamaan yang anti terhadap tradisi. Najib mencatat, pergeseran tersebut dimulai sepeninggal Dahlan pasca 1930.Â
Di antara penyebab utama pergeseran sikap tersebut adalah pengaruh para tokoh Muhammadiyah dari Minangkabau, khususnya Haji Abdul Karim Amrullah yang dikenal dengan sebutan Haji Rasul.