Mungkin tulisan saya ini agak terlambat muncul ke permukaan. Hari ini, isu yang tempo hari sempat santer di dunia medsos mengenai istilah mudik vs pulang kampung mungkin sudah agak kadaluarsa. Akan tetapi, saya masih tergelitik untuk sekadar mengulasnya dari perspektif lain.
Beberapa waktu lalu, masyarakat negeri ini memang cukup dihebohkan oleh perbedaan istilah mudik dan pulang kampung. Berawal dari wawancara Najwa Shihab dengan presiden Republik Indonesia di istana negara mengenai kebijakan pemerintah mengatasi wabah covid-19, presiden mengemukakan bahwa mudik dan pulang kampung adalah hal berbeda dengan bahasa yang lugas, bahkan terkesan lugu.
Salah satu yang membuat pernyataan presiden ini menjadi menarik dan renyah untuk dibicarakan di ruang-ruang publik semacam media social facebook, twitter, instagram, WA, dan sebagainya barangkali adalah cuplikan wawancara dalam commercial break Mata Najwa, di mana Najwa menanyakan kebijakan Presiden Joko Widodo mengenai mudik. Presiden menjawab lugas, "Itu bukan mudik. Itunamanya pulang kampung!"
Potongan video ini kontan saja membuat para pemirsa di tanah air tertahan (baca: pause) untuk beberapa saat, lalu berpikir. Kebanyakan dari kita, termasuk saya, kemungkinan berpikir,apakah mudik dan pulang kampung memang berbeda? Ada pula yang memaklumi pernyataan presiden tersebut dengan berbagai argumen, dan berbagai reaksi lainnya.
Kemudian muncullah reaksi yang bervariasi dari berbagai kalangan di media sosial. Ada yang membuatnya sebagai lelucon, ada yang membuat status atau gafis yang bernada satire tentang ucapan presiden tersebut, ada pula yang membuat analisis-analisis kebahasaan, menjelaskan konsep mengenai mudik dan pulang kampung secara lebih detail dengan mengacu pada KBBI dan referensi ilmiah lainnya.
Secara etimologis, berdasarkan makna gramatikalnya, tidak ada yang berbeda dari istilah mudik dan pulang kampung. Menurut aplikasi KBBI luring, kata mudik yang berasal dari kata dasar udik bermakna desa, dusun, kampung (lawan kota). Kata udik yang awalnya sebuah kata benda ini mendapatkan imbuhan awalan me- sehingga menjadi kata kerja mudik.
Logikanya, jika kata dasarnya bermakna desa, dusun, atau kampung, tentu kita boleh berspekulasi bahwa kata mudik berarti melakukan perbuatan yang membawa kita menuju udik (kampung). Begitu pun yang tertulis dalam KBBI Luring. Makna dari mudik adalah pulang ke kampung halaman. Maka, simpulan dari kajian etimologis ini adalah mudik dan pulang kampung adalah hal yang sama. Saudara kembar.
Â
Budaya Mudik di Balik Pulang Kampung vs Mudik
Secara istilah keduanya bermakna sama, merujuk pada aktivitas yang sama, yakni melakukan perjalanan pulang ke kampung halaman. Akan tetapi, selalu ada faktor budaya yang tidak dapat dipisahkan dari bahasa.
Saya jadi teringat pada sebuah kalimat dalam buku yang mengkaji Discourse Analysis yang kurang lebih berbunyi, "language is always bound up with culture". Bahasa selalu terikat dengan budaya. Tidak pernah ada ikatan yang terlepas antara bahasa dengan budaya yang menyebabkan bahasa itu sendiri ada.
Jika kita melihat budaya orang Indonesia, memang ada perbedaan tipis antara mudik dan pulang kampung. Seperti yang dimaksud presiden, ada perbedaan dalam hal waktu pelaksanaan.
Jika wujud perbuatan yang dari kedua kata tersebut sama yaitu sama-sama melakukan perbuatan pulang ke kampung halaman, maka bedanya, secara budaya, istilah mudik biasanya santer disebut-sebut dan digunakan pada saat menjelang Lebaran (Idul Fitri), sedangkan istilah pulang kampung lebih luas dan umum konteksnya. Istilah ini bisa digunakan di berbagai situasi dan kondisi.
Akan tetapi, dalam pemakaian sehari-hari, sebenarnya sah-sah saja kita menggunakan salah satu dari kedua istilah tersebut terlepas dari waktu perbuatannya. Seorang kawan penulis dari Kalimantan biasa menggunakan kata "mudik" ketika ia hendak pulang ke Kalimantan pada liburan semester saat kuliah dulu. Dan penulis sangat paham bahwa mudik yang ia maksud sama dengan pulang kampung, meski tidak terjadi di beberapa waktu jelang Idul Fitri seperti lazimnya.
Artinya, secara penggunaan dalam konteks sehari-hari, kedua istilah tersebut sifatnya interchangeable, manasuka. Maka, tidak ada yang keliru ketika kita menggunakan kata pulang kampung dalam konteks lebaran dan menggunakan kata mudik dalam situasi di luar lebaran, atau sebaliknya. Terlebih, bahasa memiliki sifat arbitrer (arbitrary) alias manasuka dan merupakan sebuah kesepakatan makna (convention) antara penutur dan mitra tutur.
Secara otomatis, nyaris tidak ada perbedaan yang berdampak cukup signifikan ketika kita menukar penggunaan istilah tersebut. Hanya saja, jika kita merujuk pada konteks budaya, maka istilah mudik lebih sering digunakan saat mendekati lebaran, sedangkan istilah pulang kampung lebih leluasa untuk dipakai di berbagai situasi. Namun, sekali lagi, jika ditukar dalam penggunaannya, tidak ada dampak yang cukup 'fatal' selagi penutur dan mitra tutur saling memahami.
Â
Dampak Ucapan Presiden dalam Diskursus Publik
Dampak yang fatal justru terjadi ketika presiden -- dalam tanda kutip -- "mempertajam" perbedaan yang tidak seharusnya ini dengan mengatakan dengan bahasa yang sangat lugas dan terkesan terlalu tergesa-gesa (melihat posisi beliau sebagai presiden, bukan warga negara biasa seperti saya) mengatakan, "Itu bukan mudik. Itu namanya pulang kampung."
Kontan saja, Najwa menanyakan balik, apa bedanya Bapak Presiden, antara pulang kampung dengan mudik? Pertanyaan ini sangat wajar muncul, karena barangkali bukan itu jawaban yang diharapkan dari presiden ketika Nana menanyakan tentang sikap pemerintah terhadap 900 ribu orang yang mencuri start untuk mudik, sebagaimana laporan dari Kementerian Perhubungan.
Apakah jawaban presiden tersebut salah? Bagi saya, sah-sah saja seseorang menuturkan apa pun selagi informasi tersebut valid, berterima, dan dapat dipertanggungjawabkan. Masalahnya adalah, jawaban tersebut tidak sedang berdiri sendiri di sebuah ruang kosong, atau setidaknya muncul di tempat dengan suasana yang lebih sesuai seperti di warung kopi dalam suasana obrolan santai antara Badri dan Sidrun. Atau antara Yanto, Beni, dan teman-teman lama mereka di warung makan sederhana yang sedang chit-chat, ngobrol ke sana ke mari.
Maka, secara panjang lebar saya tuliskan di sini inti permasalahannya: jawaban tersebut diucapkan dalam situasi formal dengan lokasi istana negara dengan kapasitas beliau sebagai presiden (orang nomor satu di negeri ini) yang sedang menghadapi wawancara dalam sebuah acara di televisi yang disaksikan jutaan pasang mata masyarakat Indonesia dengan latar belakang yang berbineka.
Akibat ucapan presiden ini, tidak sedikit masyarakat yang kemudian menjadikan statement tersebut sebagai alasan mereka untuk tetap mudik dengan dalih bahwa mereka sedang pulang kampung, bukan mudik. Salah seorang kenalan saya yang juga seorang ketua RT di sebuah desa mengeluhkan warganya yang berbondong-bondong datang minta izin mudik hanya dengan mengatakan, "Saya tidak mudik, Bu RT. Saya cuma pulang kampung."
Nah, lho?
Di lain tempat di dunia digital, muncul berbagai reaksi seperti yang saya tuturkan di atas, termasuk gambar-gambar dan komik-komik sindiran tentang ucapan presiden tersebut. Lalu, seperti biasa, kembali terjadi polarisasi di masyarakat antara yang mendukung presiden dan yang mengkritik, bahkan hingga muncul satu gambar komik menggambarkan dua orang berbincang: Apa Beda Mudik sama Pulang Kampung? Lalu dijawab oleh temannya: Tergantung Kamu Ada di Kubu Mana.
Dari peristiwa ini kita dapat belajar bahwa faktor figur penutur (dalam Systemic Functional Linguistics disebut TENOR atau PARTICIPANT OF DISCOURSE -- pelaku dalam diskursus) dalam sebuah diskurus memiliki peranan yang sangat besar. Siapa yang berbicara dalam konteks apa sangatlah berpotensi menimbulkan dampak yang entah besar atau kecil, tergantung pada faktor penutur bahasa dan situasinya. Seperti peristiwa yang satu ini, hal yang sebenarnya tidak begitu signifikan jika diucapkan oleh Beni dan Yanto di warung kopi dalam situasi santai, menjadi sebuah topik pembicaraan oleh masyarakat dari berbagai lapisan di seantero negeri akibat faktor power dan authority yang dimiliki partisipan dari sebuah diskursus publik.
Dari sini pula kita bisa mengambil pelajaran bahwa kata-kata atau bahasa memiliki dampak yang luar biasa tergantung bagaimana dan dalam situasi apa ia digunakan, serta siapa yang menggunakan, sehingga penggunaan kata-kata atau aktivitas berbahasa menuntut kebijaksanaan dan kepekaan yang tinggi dari pemakainya.
Selanjutnya, kita semua bebas menafsirkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H