Mohon tunggu...
Sigit Nugroho
Sigit Nugroho Mohon Tunggu... Guru - Peminat Sejarah

Berlatar belakang bahasa Inggris, berminat sejarah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mudik, Pulang Kampung, dan Diskursus Publik Presiden

2 Mei 2020   00:07 Diperbarui: 2 Mei 2020   22:18 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akibat ucapan presiden ini, tidak sedikit masyarakat yang kemudian menjadikan statement tersebut sebagai alasan mereka untuk tetap mudik dengan dalih bahwa mereka sedang pulang kampung, bukan mudik. Salah seorang kenalan saya yang juga seorang ketua RT di sebuah desa mengeluhkan warganya yang berbondong-bondong datang minta izin mudik hanya dengan mengatakan, "Saya tidak mudik, Bu RT. Saya cuma pulang kampung."

Nah, lho?

Di lain tempat di dunia digital, muncul berbagai reaksi seperti yang saya tuturkan di atas, termasuk gambar-gambar dan komik-komik sindiran tentang ucapan presiden tersebut. Lalu, seperti biasa, kembali terjadi polarisasi di masyarakat antara yang mendukung presiden dan yang mengkritik, bahkan hingga muncul satu gambar komik menggambarkan dua orang berbincang: Apa Beda Mudik sama Pulang Kampung? Lalu dijawab oleh temannya: Tergantung Kamu Ada di Kubu Mana.

Dari peristiwa ini kita dapat belajar bahwa faktor figur penutur (dalam Systemic Functional Linguistics disebut TENOR atau PARTICIPANT OF DISCOURSE -- pelaku dalam diskursus) dalam sebuah diskurus memiliki peranan yang sangat besar. Siapa yang berbicara dalam konteks apa sangatlah berpotensi menimbulkan dampak yang entah besar atau kecil, tergantung pada faktor penutur bahasa dan situasinya. Seperti peristiwa yang satu ini, hal yang sebenarnya tidak begitu signifikan jika diucapkan oleh Beni dan Yanto di warung kopi dalam situasi santai, menjadi sebuah topik pembicaraan oleh masyarakat dari berbagai lapisan di seantero negeri akibat faktor power dan authority yang dimiliki partisipan dari sebuah diskursus publik.

Dari sini pula kita bisa mengambil pelajaran bahwa kata-kata atau bahasa memiliki dampak yang luar biasa tergantung bagaimana dan dalam situasi apa ia digunakan, serta siapa yang menggunakan, sehingga penggunaan kata-kata atau aktivitas berbahasa menuntut kebijaksanaan dan kepekaan yang tinggi dari pemakainya.

Selanjutnya, kita semua bebas menafsirkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun