Aksi solidaritas melalui Twitter tersebut sungguh mengharukan. Saat itu, saya merasa adanya suatu jaring-jaring tak kasat mata yang menyatukan orang-orang di berbagai tempat, jauh-dekat, di sini dan di sana, dalam aksi keprihatinan bersama ini. Ini menjadi bukti media sosial telah menemukan makna sosialnya. Ini pun menampik anggapan bahwa Twitter dan media sosial lain hanyalah ruang bagi para narsis, egois, dan antisosial. Sebaliknya, Twitter bisa menjadi sarana anyar untuk mengembangkan aksi-aksi kemanusiaan. Pada titik ini, saya menyadari di tengah dunia yang katanya semakin tersekat tembok-tembok egoisme, sebenarnya muncul kerinduan untuk terhubung dan membutuhkan satu sama lain. Tidak sekadar bahwa dirinya ingin didengarkan. Tapi, juga untuk mendengarkan dan berbagi. Jaring-jaring digital ini mengingatkan bahwa kita tidak hidup sendirian di dunia ini. Meski kita hidup terpisah-pisah oleh jarak, tapi kita sebenarnya berada di dalam satu rumah mahaluas ini.
Meski demikian, Twitter tidak bisa berdiri sendiri. Twitter hanya salah satu media komunikasi. Bernilai atau tidaknya Twitter tergantung dari para penggunanya. Ibarat sebuah pisau, Twitter bisa digunakan untuk membunuh orang dengan menusuknya atau alat mengupas apel bagi orang yang dicintainya. Bahkan, Twitter justru bisa berfungsi sebaliknya, yakni mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Saking asyiknya ber-Twitter, orang pun bisa lupa dengan manusia-manusia dan hal-hal di sekitarnya sendiri. Tapi, itulah Twitter, sebuah fenomena menarik.
Ya, sampai saat ini, saya masih berkicau dan mendengar kicauan di Twitter.
@ blog KataKataKu.com (Tempayan Air Kata-Kata), 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H