Mohon tunggu...
Sigit Kurniawan
Sigit Kurniawan Mohon Tunggu... lainnya -

Lahir di Jogjakarta tiga dekade silam. Saat remaja, mengembara di lorong-lorong Jakarta, sebuah city of joy yang menyuguhkan kesepian di tengah keramaian. Setiap hari menjadi tukang corat-coret di sebuah pabrik kata-kata. Baginya, segala peristiwa dalam hidup akan menjadi lebih indah dan bermakna usai ditorehkan dalam kata-kata. Moto hidupnya "SCRIBO ERGO SUM, Aku Menulis maka Aku Ada." Tempayan air kata-katanya bisa dibaca di blog http://katakataku.com (blogging for humanity). Lagi belajar sastra dan filsafat agar bisa memandang hidup ini tidak hitam putih. Selamat menimba kesegaran dalam tempayan air kata-kata ini. Mari merayakan hidup!

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Setahun Berkicau di Twitter

23 Agustus 2010   13:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:46 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

sumber: http://scitech.blogs.cnn.com

TIDAK TERASA saya sudah atau baru setahun terlibat dalam dunia kicauan Twitter. Pada 17 Juli 2010, tepat setahun saya buka akun di situs mikroblogging ini. Perjalanan berkicau pun  baru menemukan makna belakangan ini.

Di awal berjejaring sosial di Twitter, saya tidak terlalu bergairah. Minimal tak segairah setahun silam saat saya sedang gandrung dengan Facebook. Saya menilai model komunikasi di Twitter adalah komunikasi yang patah-patah.

Analoginya seperti orang yang terjerembab dalam kerumunan di alun-alun. Orang dengan bebas berceloteh dalam aneka topik. Saya bebas mendengar kicauan di kanan kiri saya. Tanpa saya kudu mengenal orang itu. Bahkan, lebih ekstrem lagi, saya mencuri dengar ocehan orang yang belum pernah saya jumpai sama sekali. Saya bebas mencuri dengar ocehan orang tanpa kudu permisi dengan orang itu. Demikian juga sebaliknya.

Komunikasi yang patah-patah menggulirkan skeptisime di awal pada media sosial berikon burung kenari ini. Informasi yang bergulir pun sering tidak nyambung. Alih-alih memenuhi kebutuhan saya akan informasi. Kadar kualitasnya pun jauh dari harapan. Dangkal. Curhat sana-sini dengan hal-hal tidak penting. Inilah yang membuat di awal saya tidak bergairah berkicau. Saya tidak mendapatkan apa-apa.

Tapi, perubahan terjadi sejak BlackBerry ada di genggaman lima bulan silam. Ponsel pintar asal Canada ini cukup memicu saya untuk menjajal media-media sosial yang ditanam di dalamnya lebih intensif lagi. Bak mainan anyar, BB mendorong saya menyelam lebih dalam samudera digital yang tak terbatas itu. Kicauan pun makin merdu. Apalagi setelah saya mengikuti beberapa akun pekicau yang notabene tokoh publik, seperti pakar, politikus, jenderal, pejabat negara, kaum intelektual, seniman, sastrawan, pelaku media, dan sebagainya.

Informasi yang saya dapat mulai beragam—meski tetap mengusung komunikasi informal dan patah-patah.  Yang paling menarik, saya mulai terlibat dalam perbincangan publik. Apalagi ketika pada  ruang berkapasitas 140 karakter itu terjadi diskusi seputar kehidupan bersama—dari soal pemblokiran konten-konten pornografi, kekerasan yang dilakukan ormas-ormas kriminal berlabel agama, terorisme, drama korupsi Bank Century, video porno artis, ‘menghilangnya’ Kapolri, dan sebagainya. Lebih menarik lagi, ada yang gemar memberi kuliah dengan aneka topik yang dikenal dengan kultwit. Goenawan Mohamad (@gm_gm) jadi salah satu pekicau yang rajin memberi kuliahnya di ruang kelas Twitter.

Ruang Publik

Twitter—seperti halnya blog dan media sosial lainnya—kini telah menjadi ruang publik anyar. Ruang di mana publik bebas bercakap-cakap tentang apa saja. Tidak terhalang dan terbatasi oleh sekat-sekat fisik seperti halnya ruang publik fisik yang kian menyurut digencet pusat-pusat perbelanjaan dan kawasan elit. Ruang publik anyar ini pun mengakomodir komunikasi sejajar antarpelaku komunikasi. Tak peduli orang itu menteri, jenderal, gubernur, mahasiswa, maupun tukang sayur.  Semua sejajar di Twitter. (bdk. Tulisan saya berjudul “Ruang Publik Bernama Kompasiana.”)

Tren di ruang Twitter pun menunjuk hal positif. Khususnya, bagaimana perbincangan di Twitter diubah menjadi gerakan sosial kemanusiaan. Kasus Lindu Aji (4)  menjadi contoh paling hangat. Lindu Aji adalah balita yang menjadi korban bakar dari sang ibu, Khoir Umi Latifah (25), yang membakar diri di dalam kamar mandi. Diduga karena tekanan ekonomi, warga Buyengan, Klaten, ini nekat mengajak Lindu Aji dan Dwi—adik Lindu bunuh diri. Perbincangan di Twitter menyambung berita di portal Detik.com “Terlilit Utang Rp 20 Ribu, Ibu Ajak Dua Anaknya Bakar Diri“.

Malam harinya, saya baru baca tentang para Tweeps yang berupaya mengumpulkan dana darurat buat pengobatan Lindu Aji yang sekarat di RS Sardjito. Dwi adiknya sudah lebih dulu meninggal karena luka serius. Akun rekening pun disebar di laman Twitter. Ada Tweep yang terus memantau perkembangan Lindu. Sampai akhirnya, Lindu pun menyusul Ibu dan adiknya menghembuskan nafas terakhir. Gerakan penggalangan dana terus dilakukan untuk biaya perawatan dan pemakaman ketiga insan malang itu. Aksi Tweeps ini juga menjadi bentuk dukungan moral bagi Slamet—suami Umi dan ayah dari Lindu dan Dwi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun