Mohon tunggu...
Sigit Kurniawan
Sigit Kurniawan Mohon Tunggu... lainnya -

Lahir di Jogjakarta tiga dekade silam. Saat remaja, mengembara di lorong-lorong Jakarta, sebuah city of joy yang menyuguhkan kesepian di tengah keramaian. Setiap hari menjadi tukang corat-coret di sebuah pabrik kata-kata. Baginya, segala peristiwa dalam hidup akan menjadi lebih indah dan bermakna usai ditorehkan dalam kata-kata. Moto hidupnya "SCRIBO ERGO SUM, Aku Menulis maka Aku Ada." Tempayan air kata-katanya bisa dibaca di blog http://katakataku.com (blogging for humanity). Lagi belajar sastra dan filsafat agar bisa memandang hidup ini tidak hitam putih. Selamat menimba kesegaran dalam tempayan air kata-kata ini. Mari merayakan hidup!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dua Perempuan Perawat Tari Pendet

18 Oktober 2009   14:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:35 1063
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama Pendet menguar gencar usai dirilisnya iklan pariwisata Malaysia di Discovery Channel yang menampilkan tarian asal Bali itu. Iklan bertema "Enigmatic Malaysia" menebar ekspresi kemarahan sebagian orang Indonesia. Ungkapan "ganyang Malaysia" ala Soekarno pada masa konfrontasi itu pun muncul di milis-milis atau obrolan. Media-media dalam negeri pun ikut bermain dalam membesarkan ‘api kemarahan' ini.

Sebenarnya, marah saja tidak cukup. Bisa jadi tidak pada tempatnya. Apalagi dilatari oleh kekurangperhatian kita pada warisan budaya ini. Sama seperti seorang ibu yang marah besar karena anaknya diaku anak oleh orang lain. Sementara ia sendiri, meski ibu kandung, tidak merawat dan membesarkannya. Dan anak itu bilang, "Ibuku yang sesungguhnya adalah dia yang sudah merawat dan membesarkan aku." Nah, para perawat tari Pendet yang paling kentara adalah para penari itu sendiri. Salah duanya adalah penari legendaris Pendet, Jero Puspa  dan Ni Ketut Arini.

Pada awal September lalu-tepatnya di sela-sela rilis iklan baru Kuku Bima Energi dari Sidomuncul bertema "sejarah perkembangan tari Pendet, aku menggelar sepotong obrolan dengan kedua penari tersebut. Kedua perempuan ini sudah sepuh. Tubuh mereka yang keriput terbungkus pakaian kebaya warna merah jambu. Tapi, senyum dan tatapan mereka menyiratkan semangat menggelora. Terlebih bila ditanya seputar Pendet dan kebudayaan Bali. Sayang sekali aku tidak membawa kamera untuk mengabadikan paras mereka saat itu. Asal tahu saja, kedua perempuan ini adalah guru dan murid. Jero Puspa yang lahir pada 1932 adalah guru tari Arini yang lahir pada 1942.

"Saya mulai menari Pendet sejak kecil di masa Kemerdekaan. Saya belajar menari dari I Wayan Rendi. Di Bali, Pendet menjadi dasar seni tari. Tapi, di luar Bali, gaung dari tari ini sedikit demi sedikit terkubur. Di sini, usaha menurunkan kesenian ini ke generasi sekarang tetap dilakukan," kata Jero Puspa dengan nada bicara sedikit terbata.

Pada masanya, Jero Puspa sering ditanggap untuk tampil di kota Surabaya dan Jakarta. Setiap 17 Agustus, ia mengaku sering diundang Presiden Soekarno untuk tampil di istana. Ia pun sering dikirim ke mancanegara untuk memperkenalkan kesenian ini, seperti di Srilanka, Singapura, Pakistan, dan Rusia. "Saya senang sekali. Tapi, itu dulu saat saya masih muda," katanya sembari tertawa kecil.

Sementara itu, Arini belajar Pendet pada usia tujuh tahun. Ia juga belajar Pendet dari I Wayan Rendi yang tak lain adalah pamannya sendiri. I Wayan Rendi dikenal sebagai pencipta Pendet penyambutan. Asal tahu saja, pada awalnya, Pendet merupakan tari pemujaan di pura-tempat ibadat umat Hindu. Pendet melambangkan penyambutan atas turunnya para dewa ke bumi. Dalam perkembangannya, tarian ini menjadi tarian selamat datang  tanpa mengorbankan aspek religiositasnya.

"Yang menarik dari Tari Pendet, yakni saat itu menjadi tarian yang gampang dipelajari karena lebih sedikit unsur gerakannya dibanding tarian yang lain. Orang bisa dengan cepat mempelajari tarian ini. Saya tampil pertama pada acara kenaikan kelas. Saya menari di kelas itu," katanya.

Pada Agustus 1965, ia ditugaskan mengajar tari di konsulat Indonesia di Manila, Filipina dalam rangka menyambut Hari Kemerdekaan. Arini juga pernah menari Pendet pada pembukaan Asian Games 1962. Mulai saat itu pun, ia sering diundang ke istana-termasuk pada masa Rezim Soeharto.

Sebagai pelestari warisan Bali ini, Arini juga merasa tidak terima bila tarian yang selama ini ia rawat diklaim kepemilikannya oleh negara tetangga. "Saya juga prihatin. Kita sudah berusaha sudah mengirim usulan dari Dinas Kebudayaan Bali soal kepemilikan hak cipta ini. Sampai sekarang, belum ada jawaban. Kita mengirim bahan-bahannya ke Jakarta pada Maret 2008. Sampai sekarang belum ada tanggapan," imbuh perempuan kelahiran Banjar Lebah ini.

Arini masih optimistis ada Pendet khususnya di Bali. Apalagi tarian ini dipelajari masyarakat Bali sejak kanak-kanak. Sekarang, di Denpasar, ada sekitar 80 sanggar tari. "Daya tarik mereka masih ada. Anak-anak harus sudah bisa memainkan gamelan dan menari tarian Bali," katanya.

Upaya melestarikan Pendet ia terjemahkan dengan mendirikan sekolah tari bernama Sanggar Warini. Sekarang, ia mempunyai lebih dari 300 murid. Semua penari Pendet inilah yang layak disebut perawat-perawat tari Pendet.  "Sekarang ada banyak jenis tarian. Semua tarian ini harus kita pelihara. Meski tentu ada yang tercecer. Kita harus sama-sama, dari pemerintah dan masyarakat. Ada kecenderungan orang untuk melihat yang baru dan kadang melupakan yang lama. Di Sanggar Warini, Pendet selalu saya ajarkan untuk anak-anak pemula," katanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun