Tidak banyak orang yang mengetahui perbedaan antara 'Eksperimental film' dengan 'Video art', tapi hal ini menjadi fatal kalau yang tidak mengetahui perbedaan antara dua hal tersebut adalah akademisi fakultas seni rupa yang mengajar di penjurusan film.
Sebelumnya saya jelaskan dulu apa itu 'eksperimental film'. Eksperimental film adalah bentuk film yang sudah terlepas dari pakem atau template, dan di sini filmmaker-nya lebih eksploratif dalam berkarya dan mengekspresikan jiwa seni mereka. Sementara 'video art' adalah sebuah instalasi untuk pameran di galeri yang menggunakan medium video (tv, layar, projektor, dll).
Walaupun terdengar mirip, tapi 2 karya seni ini adalah 2 bentuk karya yang sangat berbeda. Yang satu adalah produk film untuk ditonton, sementara yang satu lagi adalah instalasi pameran untuk dirasakan sebagai sebuah experience. Akademisi yang terbiasa mengandalkan 'cocoklogy' akan menganggap 2 karya ini sebagai karya yang sama atau mirip, sehingga bisa salah memasukkan 'video art' ke dalam kurikulum Jurusan Film yang seharusnya fokus ke filmmaking, dan tidak melebar ke instalasi pameran.
Jika ingin membedakan antara film yang ada di Seni Rupa dengan di DKV (Desain Komunikasi Visual), sebetulnya mudah saja. Seni Rupa lebih fokus ke Eksperimental film, karena lebih mengeksplorasi sisi seni-nya, sementara DKV fokus ke film komersil untuk periklanan atau advertising. Tapi yang namanya kurikulum sudah pasti beririsan, apalagi jika masih satu fakultas.
Begitu jurusan seni rupa banting setir, film dokumenter dan film fiksi langsung dilarang karena dianggap 'komersil'. "Di seni rupa tidak boleh komersil, harus murni seni" kalau menurut dosen-dosen seni rupa yang lain. Padahal dokumenter, film fiksi, dan eksperimental film punya nilai seni dan komersilnya masing-masing. Bahkan eksperimental film pun bisa jadi komersil jika diaplikasikan dalam bentuk MV(Music Video) yang dimana terdapat banyak elemen visual simbolik untuk merepresentasikan lirik lagu yang sedang dibawakan.Â
"Cocoklogy" adalah perilaku fatal dalam kehidupan berakademisi di sebuah institusi pendidikan. Juga perilaku copy-paste dan parafrase dalam menulis jurnal atau karya tulis ilmiah, tanpa paham dengan apa yang ditulis. Semoga perilaku ini tidak diteruskan oleh para akademisi dan para pengajar, demi dunia pendidikan Indonesia yang lebih baik dan maju untuk ke depannya, termasuk di dalamnya industri kreatif dan perfilman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H