Mohon tunggu...
Healthy

Bunda... Jangan Tularkan Virusmu Padaku!

17 Oktober 2015   19:50 Diperbarui: 29 Oktober 2015   19:01 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Gunung es kasus HIV positif sedikit demi sedikit sudah mulai mencair, dengan semakin banyak dibuka layanan pemeriksaan HIV di fasilitas kesehatan ( rumah sakit maupun Puskesmas). Penularan virus HIV tidak pandang bulu. Tua muda, laki – laki perempuan, kaya miskin, begitu juga dengan bayi, semua bisa tertular virus yang menyerang system kekebalan tubuh ini.

Dilihat dari data yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan orang dengan HIV positif paling banyak diderita oleh para pengguna narkoba suntik dan hubungan seksual dengan berganti – ganti pasangan tanpa menggunakan pengaman juga penularan dari ibu ke anak melalui air susu ibu (ASI).

Kebijakan pemerintah untuk penanggulangan HIV dengan memutus mata rantai penularan dinilai sangatlah tepat. Salah satu contohnya adalah memutus penularan dari ibu hamil yang positif HIV kepada bayinya . Bagi pasangan suami isteri mendapatkan suatu momongan adalah anugerah yang terindah. Begitu juga dengan pasangan suami isteri yang salah satunya atau kedua – duanya positif HIV mereka juga senang bila mendapatkan anugerah tersebut. Tapi masalah yang muncul bagi pasangan suami isteri yang positif HIV adalah takut bila virus yang mereka derita akan menular kepada bayinya.

Memang rasa takut mereka bukan tanpa alasan, salah satu penularan HIV/AIDS memang melalui Air Susu Ibu (ASI). Selain itu juga cairan ketuban ibu hamil mempunyai indikasi menularkan virus HIV/AIDS. Hal tersebut bisa berbahaya bagi petugas kesehatan yang membantu proses persalinan. Karena alasan tersebutlah mustahil pasangan suami isteri bisa mendapatkan keturunan, sepertinya HIV/AIDS sudah mematikan harapan dan hak mereka yang ingin mendapatkan keturunan.

Dengan kasus tersebut pemerintah melalui Kementerian Kesehatan tidak tinggal diam begitu saja. Di terbitkan suatu layanan yang diperuntukkan bagi pasangan suami isteri positif HIV untuk mendapatkan keturunan, mencegah penularan HIV dari ibu hamil ke bayi yaitu PMTCT (Prevention of Mother to Child HIV Transmission). Saat ini memang diperlukan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi dikarenakan sebagian besar (90%) infeksi HIV pada bayi disebabkan penularan dari ibu, hanya sekitar 10% yang terjadi karena proses transfusi. Infeksi yang ditularkan dari ibu ini kelak akan mengganggu kesehatan anak. Padahal dengan intervensi yang mudah dan mampu laksana proses penularan sudah dapat ditekan sampai sekitar 50%. Selain itu tindakan intervensi dapat berupa pencegahan primer/ primary prevention (sebelum terjadinya infeksi), dilaksanakan kepada seluruh pasangan usia subur, dengan kegiatan konseling, perawatan dan pengobatan di tingkat keluarga. Sebagai langkah antisipasi maka dalam Strategi Nasional Penanggulangan AIDS ditegaskan bahwa pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi merupakan program prioritas. Tujuan program dari PMTCT ini untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi selain itu juga mengurangi dampak epidemic HIV terhadap ibu dan bayi. Intervensi untuk Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi juga diperlukan. Dengan intervensi yang baik maka resiko penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar 25 – 45% bisa ditekan menjadi kurang dari 2%. Menurut estimasi Kementerian Kesehatan, setiap tahun terdapat 9.000 ibu hamil HIV positif yang melahirkan di Indonesia. Berarti, jika tidak ada intervensi diperkirakan akan lahir sekitar 3.000 bayi dengan HIV positif setiap tahunnya di Indonesia. Intervensi tersebut meliputi 4 konsep dasar:

(1) Mengurangi jumlah ibu hamil dengan HIV positif,

(2) Menurunkan viral load serendah-rendahnya,

(3) Meminimalkan paparan janin/bayi terhadap darah dan cairan tubuh ibu HIV positif, dan

(4) Mengoptimalkan kesehatan dari ibu dengan HIV positif.

Dengan program PMTCT ini bisa meminimalkan penularan HIV dari ibu ke bayi. Memang dalam praktek di lapangan tidak semudah teori. Kehamilan pada ibu positif HIV harus direncanakan. Bermacam syarat harus dilakukan, harus melakukan tes CD4 dan viral load. CD4 (limfosit CD4, pembantu sel-T) sendiri adalah jenis sel darah putih yang membantu tubuh melawan infeksi. Hasil dari pemeriksaan CD4 wajib diatas 350. Dan viral load sendiri jumlah partikel virus dalam 1 mm kubik darah, semakin banyak jumlah partikel virus dalam darah berarti semakin besar kerusakan sel CD4. Hasil pemeriksaan viral load harus serendah mungkin. Pembuahan ditunggu disaat masa subur datang, dan meminum obat anti retroviral (ARV) sesuai aturan dan tepat waktu. Proses persalinan pada ibu hamil positif HIV dianjurkan melakukan operasi tidak dengan persalinan normal.

Persalinan dengan seksio sesarea berencana sebelum saat persalinan tiba merupakan pilihan pada Odha. Pada saat persalinan pervaginam, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Bayi mungkin juga terinfeksi karena menelan darah atau lendir jalan lahir tersebut (secara tidak sengaja pada saat resusitasi). Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa seksio sesarea akan mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar 50-66% . Apabila seksio sesarea tidak bisa dilaksanakan, maka dianjurkan untuk tidak melakukan tindakan invasif yang memungkinkan perlukaan pada bayi (pemakaian elektrode pada kepala janin, ekstraksi forseps, ekstraksi vakum) dan perlukaan pada ibu (episiotomi).

Telah dicatat adanya penularan melalui ASI pada infeksi CMV, HIV1 dan HTLV-I. Sedangkan untuk virus lain, jarang dijumpai transmisi melalui ASI. HIV teridentifikasi ada dalam kolustrum dan ASI, menyebabkan infeksi kronis yang serius pada bayi dan anak . Oleh karenanya ibu hamil HIV positif perlu mendapat konseling sehubungan dengan keputusannya untuk menggunakan susu formula ataupun ASI eksklusif. Untuk mengurangi risiko penularan, ibu HIV positif bisa memberikan susu formula kepada bayinya. Pemberian susu formula harus memenuhi 5 persyaratan AFASS dari WHO (Acceptable= mudah diterima, Feasible= mudah dilakukan, Affordable= harga terjangkau, Sustainable= berkelanjutan, Safe= aman penggunaannya). Pada daerah tertentu dimana pemberian susu formula tidak memenuhi persyaratan AFASS maka ibu HIV positif dianjurkan untuk memberikan ASI eksklusif hingga maksimal 6 bulan, atau lebih pendek jika susu formula memenuhi persyaratan AFASS sebelum 6 bulan tersebut. Setelah usai pemberian ASI eksklusif, bayi hanya diberikan susu formula dan menghentikan pemberian ASI. Sangat tidak dianjurkan pemberian makanan campuran (mixed feeding), yaitu ASI bersamaan dengan susu formula/ PASI lainnya. Mukosa usus bayi pasca pemberian susu formula/ PASI akan mengalami proses inflamasi. Apabila pada mukosa yang inflamasi tersebut diberikan ASI yang mengandung HIV maka akan memberikan kesempatan untuk transmisi melalui mukosa usus.

Risiko penularan HIV melalui pemberian ASI akan bertambah jika terdapat permasalahan pada payudara (mastitis, abses, lecet/luka putting susu). Oleh karenanya diperlukan konseling kepada ibu tentang cara menyusui yang baik.

Upaya PMTCT tidak terhenti setelah ibu melahirkan. Karena ibu tersebut terus menjalani hidup dengan HIV di tubuhnya, maka membutuhkan dukungan psikologis, sosial dan perawatan sepanjang waktu. Jika bayi dari ibu tersebut tidak terinfeksi HIV, tetap perlu dipikirkan tentang masa depannya, karena kemungkinan tidak lama lagi akan menjadi yatim dan piatu. Sedangkan bila bayi terinfeksi HIV, perlu mendapatkan pengobatan ARV seperti Odha lainnya. Dengan dukungan psikososial yang baik, ibu HIV positif akan bersikap optimis dan bersemangat mengisi kehidupannya. Diharapkan ia akan bertindak bijak dan positif untuk senantiasa menjaga kesehatan diri dan anaknya, dan berperilaku sehat agar tidak terjadi penularan HIV dari dirinya ke orang lain. Informasi tentang adanya layanan dukungan psikososial untuk Odha ini perlu diketahui masyarakat luas. Diharapkan informasi ini bisa meningkatkan minat mereka yang merasa berisiko tertular HIV untuk mengikuti konseling dan tes HIV agar mengetahui status HIV mereka sedini mungkin.

Dengan demikian peran dari masyarakat sangat berarti bagi para Odha, masyarakat harus aktif dalam memberikan informasi dasar dan edukasi tentang HIV terkait isu-isu pengendalian HIV sehingga dari sini dapat menghapus stigma dan diskriminasi Odha di masyarakat. Dukungan dan peran aktif masyarakat juga membantu rasa percaya diri bagi Odha sehingga dapat menjaga kualitas hidup para Odha.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun