Kementerian PMK melontarkan wacana sertifikasi bagi calon pasangan siap nikah yang menimbulkan pro - kontra. Apa sebenarnya misi dibalik kebijakan ini?Â
Dikutip dari Diskusi Media FMB bertema : "Perlukah Sertifikasi Perkawinan" (22/11) pihak PMK merilis latar belakang kebijakan itu. Bagaimana kondisi rumah tangga di Indonesia secara umum? Menurut data Susenas sedikitnya terjadi 11,2% perkawinan anak atau di bawah umur. Sepanjang tahun 2018, menurut Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung ada 375.714 kasus perceraian dan ini terus meningkat dari tahun ke tahun.Â
Adapun data Kementerian Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Perempuan ( KPPPA) sebanyak 1.220 pelaku kekerasan keluarga adalah orang tua dan 2.825 pelaku lainnya adalah suami/istri. Yang lebih menyedihkan lagi menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sepanjang tahun 2017 sedikitnya 393 anak mengalami kekerasan seksual dalam rumah tangga.
Bila mencermati fenomena di atas, alasan Kementerian PMK mempunyai landasan rasional. Apalagi bila dikaitkan dengan piramida penduduk Indonesia yang "gemuk" di kelompok umur produktif dan anak - anak.Â
Visi pemerintahan Joko Widodo untuk membangun SDM unggul harus didukung dengan kebijakan sektor lain. Mencermati hasil survei Susenas 2018 jelas akan menghambat program SDM Unggul bila angka pernikahan anak di bawah umur tinggi. Dengan sendirinya program pendidikan tak dapat diikuti  oleh anak - anak usia sekolah paska anak berumahtangga. Tak kalah mirisnya adalah meningkatnya angka perceraian dari tahun ke tahun.Â
Pernikahan dini (di bawah umur) dan tren naiknya angka perceraian menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Selain resiko - resiko kesehatan pada anak hasil perkawinan di bawah umur seperti "stunting" , "gizi buruk" juga tak kalah pentingnya. Tugas pemerintah saat ini adalah mencegah dan menanggulangi ekses - ekses pernikahan di bawah umur.
Substansi dari sertifikasi pra-nikah sederhana, yakni pembekalan ilmu tentang kesehatan keluarga, keuangan, psikologi, pengasuhan anak - anak bakal diberikan kepada pasangan yang akan menikah. Setelah melewati proses ini calon pengantin diberikan sertifikat layak untuk menikah. Diharapkan pasangan menikah bisa menata rumah tangga dan mempertahankan pernikahan sampai maut memisahkan.
Hukum Agama
Bagaimana kaitannya dengan hukum agama? Pernikahan adalah hak asasi setiap orang dan dianjurkan oleh agama apa pun. Persoalan HAM bakal mewarnai polemik kebijakan ini selain masalah theologis. Untuk Indonesia dengan mayoritas Muslim perlu ekstra hati - hati untuk sosialisasikan program agar tidak terjebak dalam perdebatan theologis.
"Sertikasi perkawinan yang didahului denga bimbingan dan penyuluhan persiapan  pernikahan sesungguhnya untuk memperkuat ketahanan keluarga," demikian menurut Direktur Bina KUA (Kantor Urusan Agama) dan Keluarga Sakinah Kementerian Agama (Kemenag) Mohsen dalam acara di atas.
Menurutnya, Kemenag melalui KUA sudah melakukannya sejak dulu yang namanya penasehat  perkawinan. Dimana ada dalam isi bimbingannya ada persfektif kepemimpinan kepala keluarga, kesetaraan gender, masalah KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) hingga masalah HAM. Setelahnya  diberikan sertifikat oleh penyelenggara bimbingan dan penyuluhan pernikahan.Â
Lembaga yang memberikan layanan itu harus ada standarisasi oleh negara agar kompeten dalam melakukan bimbingan dan penyuluhan pernikahan.
Pernyataan dari wakil Kemenag di atas setidaknya bisa menjadi rujukan. Diharapkan tidak polemik tajam soal sertifikasi pra-nikah, bagaimana pun tujuan dari kebijakan ini untuk kesejahteraan calon pasangan. Pasangan suami - istri sebenarnya bisa menjadi agen sosialisasi kebijakan ini, terutama ke anak-anaknya sendiri dulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H