Mohon tunggu...
Sigit Budi
Sigit Budi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Content Creator

Pembuat konten video, host podcast , selebihnya pengangguran banyak acara

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Hoaks Merajalela, Peluang bagi Media Tradisional Bangkit

27 Juni 2019   00:12 Diperbarui: 27 Juni 2019   00:36 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
media konvensional (dok. suara.com)

Kominfo paska kerusuhan 22 Mei lalu memblokir sementara akses internet netizen ke media sosial dan media networking untuk materi foto dan video, Menkominfo Rudyantara saat itu beralasan untuk membatasi penyebaran hoaks di media sosial. Ternyata cukup efektif kebijakan tersebut meski tak bisa menutup semua keran akses informasi dari media sosial. 

Faktanya masih saja tersebar informasi - informasi hoax di media sosial sedang di platfrom media networking seperti Whatsapp dan Telegram penyebarannya informasi hoax berkait kerusuhan Mei 2019 relatif lambat. 

Dapat dimengerti mengapa Kominfo hanya batasi akses materi foto dan video terutama di media networking, seperti dikemukakan Menkominfo yang dilansir oleh Suara.com (23/05/2019) materi foto dan video lebih cepat menimbulkan emosi dibandingkan tulisan. Soal informasi hoax saat ini sudah seperti wabah penyakit sifatnya penyebaran sangat cepat di masyarakat, tak dipungkiri faktor media sosial dan populasi pengguna smartphone yang melebihi jumlah penduduk. 

Pengguna telepon seluler (ponsel) di tanah air mencapai 371,4 juta pengguna atau 142 persen dari total populasi sebanyak 262 juta jiwa. Artinya, rata-rata setiap penduduk memakai 1,4 telepon seluler karena satu orang terkadang menggunakan 2-3 kartu telepon seluler. Sumber : Katadata.co.id dengan judul ["Pengguna Ponsel Indonesia Mencapai 142% dari Populasi"]  

Agus Sudibyo, anggota Dewan Pers pada acara diskusi media FMB9 (26/05/2019) bertema "Pers di Pusaran Demokrasi" menyebut gejala massif-nya penyebaran hoax saat ini sebagai "Epidemi Hoax". Menurut Agus gejala massif penyebaran hoax dalam kontestasi politik seperti Pemilu tidak hanya terjadi Indonesia, gejala serupa juga muncul di pemilu Amerika Serikat dan Brasil. 

Konteksnya dengan kondisi politik nasional belakangan ini, Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga Dewan Pers itu mengajak segenap unsur media konvensional, media alternatif, media sosial dan masyarakat sipil untuk bersama - sama berkontribusi meredakan ketegangan urat - urat politik (relaksasi politik) dalam turbulensi politik nasional. Bentuk kontribusi media dan masyarakat sipil untuk meredakan ketegangan politik ini, Agus mengharap media menyajikan  berita yang tidak memperuncing persoalan. 

Lebih lanjut Agus  juga menjelaskan peran media dalam konflik yang terbagi atas media dengan pemberitaan memperuncing keadaan lewat pemberitaan sekeras mungkin , dan peran  media untuk meredam konflik lewat pemberitaan sejuk dan damai. Meminjam istilah pendiri Jawa Pos Dahlan Iskan, Agus berharap dalam situasi politik saat ini media dapat membangkitkan harapan (manufacturing hope) lewat pemberitaan - pemberitaan yang hati - hati, menyejukan bahwa persoalan bangsa bisa diselesaikan lewat koridor demokrasi.

Satu hal lagi  dari pemaparan Agus patut digarisbawahi soal dampak pembatasan akses internet beberapa waktu lalu, ia mengungkapkan ada gejala kebangkitan kembali kepercayaan masyarakat kepada media tradisional  (media consumption reborn). 

Menurutnya pemilik media dan jurnalis menyambut baik kebijakan tersebut karena tiba akses masyarakat ke media massa meningkat pesat dibandingkan sebelum akses internet ke media sosial dan networking dibatasi. Dari fenomena tersebut, anggota Dewan Pers ini mengatakan sebenarnya ada kebutuhan informasi dari masyarakat tentang informasi yang lebih bagus daripada informasi di media sosial 

Masyarakat Indonesia saat ini sudah mengalami transformasi literasi, lebih cerdas dalam menyikapi berita hoax terlihat dari munculnya gambar  "meme" yang memparodikan hoax - hoax di media sosial dan networking. Gambar "meme" pun menjadi salah satu hiburan masyarakat lewat media sosial sekaligus berfungsi merelaksasi ketegangan - ketegangan dari turbulensi politik. 

Sementara Ketua PWI Atal S. Depari menyorot soal persaingan media massa dengan media, menurut Atal  awak media digital tak perlu takut  bersaing dalam soal kecepatan menyajikan informasi. Atal juga menegaskan bahwa  wartawan harus tetap memenuhi standar jurnalistik 5W 1H secara akurat dalam penulisan berita dan  lebih baik menyajikan berita akurat dan lengkap meski sedikit lambat. 

Menanggapi soal independensi wartawan dan redaksi media, Agus Sudibyo mengharapkan kerjasama dari awak media bila ada kasus intervensi eksternal dan internal  dalam pemberitaan karena dijamin oleh UU Pers. Menurut Agus media dan wartawan butuh keberanian untuk melaporkannya ke Dewan Pers. Persoalan ini tak semudah itu, awak media atau wartawan dapat kehilangan pekerjaannya melaporkan intervensi terutama dari internal atau pemilik media.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun