Pemberantasan radikalisme akut bakal seperti operasi kanker mungkin harus rela melepas orang - orang dekat atau saudara kita yang terlibat untuk diproses hukum. Sebuah harga mahal seperti dialami anak istri kombatan ISIS dari Indonesia yang kini terdampar di kamp - kamp pengungsian di Suriah, mereka harus rela melepas sang suami diadili oleh hukum perang akibat perbuatannya selama bergabung dengan ISIS.
Tentu pemerintah dan tim pansel sudah berpikir masak - masak dan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak sebelum melibatkan BNPT untuk menyusuri rekam jejak calon pimpinan (capim) KPK 4 tahun ke depan. Budaya korupsi memang harus terus dikikis dari mental orang Indonesia, penyakit sosial ini terbukti membuat bangsa ini lambat meraih kejayaan. Namun tak kalah penting, radikalisme agama juga tak kalah bahaya bagi keutuhan bangsa ini, menurut saya justru lebih berbahaya dari narkoba dan korupsi. Bila paham radikalisme ini sudah menjadi gaya hidup para pendekar anti - korupsi bukan tak mungkin pemberantasan korupsi dipakai alat politik untuk kepentingan kelompoknya.
Perlu digarisbawahi bahwa pengaruh paparan radikalisme terhadap seseorang tak bisa diukur dari kesalehannya menjalankan ibadah dan atribut yang dipakai sehari - hari seperti celana cingkrang atau memelihara jenggot panjang.
Menurut saya tampak luar tersebut adalah hanya sebuah ekspresi religiusitas seseorang, tidak 100 persen mencerminkan pola pikirnya. BNPT sendiri tentu memiliki kriteria ketat untuk menilai seseorang dianggap simpatisan atau pendukung berat radikalisme, termasuk pada capim KPK. Pastinya pertimbangan BNPT bukan berdasar dari tingginya ujung celana dari mata kaki dan panjang jenggot capim KPK.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI