Ketua MUI Propinsi Banten menghimbau agar suara Adzan diperdengarkan di seluruh kantor instansi pemerintah termasuk TNI-Polri dan Mall - Mall, himbauan ini dipertegas, volume pengeras suara dinaikan ke level maksimal.
Himbauan ini seakan mendukung kasus persengkataan hukum atas Meiliana dengan pengurus Masjid di Medan di Sumatera Utara yang berujung di pengadilan. Pedihnya, Meiliana harus menerima vonis selama 18 bulan gegara kalah di pengadilan melawan penuntut yang mewakili pihak yang diprotes.
Banyak pihak menyayangkan kasus Meiliana tidak seharusnya berakhir di meja hijau, karena bisa dimusyawarahkan, namun tujuan kelompok - kelompok ini memang ingin menunjukan superioritas dari mayoritas agama, meski tidak semua mayoritas yang diklaim diwakili tak setuju. Kembali ke himbauan MUI Banten, bila himbauan ini diprotes oleh non-muslim pasti berakhir serupa kasus Meiliana.
Beberapa waktu lalu Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) merilis pernyataan menanggapi pernyataan seorang Mualaf yang mengaku anak dari salah satu pengurus PGI. Dalam press release tersebut PGI menolak tegas telah menyediakan dana milyaran rupiah tiap tahun untuk pengamanan hari raya Kristiani untuk Banser, Ansor atau ormas lainnya.
Jelas pernyataan mualaf muda yang menuduh PGI ini sangat sembrono, barangkali dia berpikir untuk popularitas agar namanya diakui. Syukurlah pihak PGI dan kelompok Kristiani tak menindaklanjuti ke ranah hukum, bila terjadi bukan tak mungkin menjadi polemik yang syarat dengan tema SARA.
Perlakuan terhadap Meiliana serupa dialami Saefuddin Ibrahim yang berganti nama Abraham Ben Moses, seorang mantan dosen agama di salah satu perguruan tinggi di Jawa Barat yang pindah keyakinan dilaporkan ke Polisi, dan kasusnya berakhir di Pengadilan.
Nasibnya sungguh tragis, Saefuddin divonis penjara 4 tahun dengan tuduhan kebencian berbau SARA, sementara Steven, mualaf yang melemparkan tuduhan ke PGI dan pemuka agama lainnya yang berseliweran di media online dan sosial menyerang keyakinan pihak bebas melengggang kangkung.
Bila dicermati kasus - kasus di atas, ada rasa keadilan yang terkoyak pada kelompok minoritas di negara ini, seakan tak memiliki hak untuk berpendapat atau menjalankan ritual keyakinan seperti yang terjadi Propinsi Banten. Meski Undang - Undang Dasar 1945 menjamin kemerdekaan semua warga negara tanpa memandang, suku, agama dan ras (SARA), faktanya tirani mayoritas yang diklaim sebagian kecil kelompok mayoritas agama memberangus hak - hak dasar tersebut.
Saya sepakat dengan pernyatan PGI menyikapi tuduhan itu, bahwa prakarsa dan kerjasama bagus seperti pihak lain di luar gereja hendaknya tidak dirusak oleh isu yang tidak bertanggungjawab yang dapat menegasikan semangat gotong royong dan kesukarelawanan yang sudah lama tumbuh di masyarakat.
Dalam pernyataan itu PGI juga meminta gereja-gereja dan masyarakat untuk tidak terpancing atas beredarnya video tersebut dan tetap menjaga kerukunan antar umat beragama, seraya terus membangun kerjasama lintas suku, ras dan agama. Senada dengan ungkapan Kepala Staf Presiden (KSP), Jend (Purn) TNI, Moeldoko saat menghadiri Upacara Adat Seren Taun di Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Senin, 3 September 2018 tentang kebersamaan sebagai bangsa Indonesia di depan masyarakat Sunda Wiwitan.
“Kita jangan lagi bicara minoritas dan mayoritas. Sepanjang masih bicara minoritas dan mayoritas, bangsa ini tak akan pernah selesai dalam membangun kebangsaannya. Sebaliknya, kembangkan semangat gotong royong untuk membangun bangsa,” ungkap Moeldoko.