Mohon tunggu...
Sigit Budi
Sigit Budi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Content Creator

Pembuat konten video, host podcast , selebihnya pengangguran banyak acara

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ironi Bom Surabaya, Masyarakat Butuh Rasa Aman tapi Meragukan Aparat

15 Mei 2018   16:42 Diperbarui: 15 Mei 2018   19:14 1106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sesaat setelah ledakan bom beruntun di tiga gereja di Surabaya , di timeline  media sosial ramai oleh ungkapan bela sungkawa dan keprihatinan terhadap korban dan kejadian tersebut. Namun ada juga netizen menganggap  "Minggu Berdarah" tersebut sebuah rekayasa. Apa yang salah dengan anggapan sebagian kalangan tersebut ? Tidak ada, menurut hemat saya sebagian masyarakat kita masih terbawa nostalgia semasa Orde Baru. Rezim Soeharto yang berkuasa 30 tahun di negeri ini harus diakui atau tidak mewariskan apatisme rakyat terhadap pemerintah.  

Tak mengherankan, masa Orde Baru berkuasa rakyat Indonesia dicekam oleh ketakutan  oleh gaya otoriter yang represif penegak hukum. Soal intelejen, pemerintah  Orba menempatkan mata dan telinga sampai tingkat desa dan kampung, ibaratnya, jarum jatuh di atas rumput pun terdengar sampai ke Bina Graha, ruang kerja Presiden Soeharto. Pada akhirnya setiap elemen masyarakat berhati -- hati dalam menyikapi pemerintah karena "dinding pun bertelinga".

Pemerintah Orba mempunyai landasan hukum untuk melakukan semua itu karena ada UU subversi yang mengatur, namun prakteknya  aparat di lapangan yang sering  over acting , membuat tujuan UU tersebut bias. Sehingga gerakan -- gerakan yang diindikasi tidak sejalan dengan program dan  kebijakan pemerintah dianggap subversi, tokoh -- tokoh gerakannya bisa ditahan tanpa proses pengadilan dalam waktu lama.

Tentunya peraturan ini menebarkan ketakutan bagi siapa pun saat itu, masing "mending" bila hanya ditahan seringkali tersangka dihilangkan begitu saja tanpa status yang jelas,  tidak pulang, hidup atau mati, bila mati kuburannya tak ditemukan. Saya masih ingat di media koran saat itu populer istilah "disukabumikan" artinya kurang lebih dilenyapkan dari dunia, seperti aksi penembakan misterius atau "Petrus" yang populer tahun 1980-an.

Di akhir masa Orde Baru, mantan menantu Soeharto, Prabowo Subianto yang saat itu sebagai Danjen Koppasus masih mempraktekannya. Di era reformasi fakta tersebut terungkap dan menghabisi karier militernya. Masih untung petinggi militer saat itu segan ke Soeharto sehingga Prabowo tidak diseret ke Mahkamah Militer (Mahmil), hingga saat ini pun tidak terungkap aktifis -- aktifis yang diculik tersebut.

Berkait kejadian Bom di Surabaya di tiga gereja di hari minggu pagi kemarin tak sedikit netizen dan oposisi menyalahkan pemerintah, lembaga intelejen dianggap tak mumpuni mengantisipasi kejadian tersebut. Bahkan ada yang menuntut Kapolri, Ka BIN mundur dari jabatanya, saya yakin pendapat tersebut pendapat politisi yang sering tidak berdasarkan fakta hukum.Bukankah sejak Reformasi bergulir kita semua sepakat mencabut UU yang represif termasuk mencabut kewenangan luar biasa lembaga intelejen, Polri dan Militer dalam mengantisipasi ancaman negara.

Argumentasi apa pun dari pemerintah soal Bom di Surabaya tidak akan didengar publik,meski Kapolri Tito Karnavian dan Kapolda Jawa Timur mulutnya sampai  berbusa -- busa menjelaskannya. Ironis, masyarakat sebenarnya butuh aparat keamanan, sayangnya enggan menaruh kepercayaannya. Sehingga di media sosial pun masih berseliweran postingan yang meragukan kejadian di Surabaya murni Extra Ordinary Crime, lalu siapa lagi yang kita percaya untuk menuntaskan setiap masalah keamanan di negeri ini ?

Sebagai warga negara kita mempunyai hak dan kewajiban, termasuk hak mendapatkan keamanan dari tindakan kriminal, dan oleh UU kita boleh menuntut kepada pemerintah. Tapi bila dalam benak kita sendiri tak ada itikad baik mempercayai Kepolisian melakukan tugasnya, semua pekerjaan Kepolisian tak ada harganya di mata kita.

Menurut saya, sikap seperti itu tidak mencerminkan diri sebagai warga negara Indonesia yang bertanggungjawab, hanya mau enaknya sendiri, egois. Bila memang melihat aparat keamanan memiliki kekurangan sumber daya dalam melaksanakan tugasnya, seyogyanya kita memberikan kontribusi demi keamanan dan kepentingan publik.

Bila anggapan itu dari masyarakat awam saya masih maklum, tapi ada juga beberapa oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) meragukan kinerja pemerintah dalam hal ini aparat keamanan. Bukankah seorang ASN sudah bersumpah setia kepada negara dan pemerintah yang sah, bukan sebaliknya suka -- suka menyebarkan pesan -- pesan kebencian lewat media sosial dan messenger.

Barangkali pemerintah terutama Kementerian Aparatur Negara mengevaluasi lagi oknum -- oknum ASN yang ingin eksis di media sosial dengan cara menghujat pemerintah. Bila ingin eksis dan kritis saya pikir di birokrasi ada mekanismenya sendiri.

Semoga bermanfaat !!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun