Menyikapi kejadian aksi kekerasan di Mako Brimob dan pengeboman di sejumlah gereja di kita Surabaya, hati saya perih sekali melihat Indonesia kini menjadi "battle field" gerakan - gerakan trans-nasional. Â Saya jadi membayangkan mungkin saja anak - anak, istri, keluarga terdekat kita bisa menjadi korban berikutnya.
Saya teringat kejadian bom di Kedutaan Australia dan Hotel JW Mariot beberapa tahun lalu, korban luka dan tewas  kebanyakan rakyat kecil seperti kurir, sopir, satpam atau karyawan pengendara sepeda motor yang kebetulan melewati jalan di depannya.
Saat itu saya begitu takut sekali saat itu, kebetulan 2 dua lokasi tersebut berdekatan yakni di kawasan bisnis Kuningan dimana saya saat itu bekerja di sana. Sempat beberapa waktu tak berani menginjakan kaki di kawasan - kawasan bisnis di Jakarta.
Saat kejadian pemboman beruntun di Indonesia itu belum ada media sosial, sehingga masyarakat hanya mengandalkan TV Â dan radio sebagai sumber informasi tercepat. Entah seperti apa bila sudah ada medsos seperti sekarang, tak terbayang kepanikan masyarakat di Jakarta saat itu, pasalnya korban tewas, luka berat di Hotel Marriot dan Kedubes Australia tidak sedikit.
Saya jadi teringat gambar - gambar di layar tv kota Beirut, Lebanon era 80-an yang sering diberitakan siaran Dunia Dalam Berita Stasiun TVRI semasa di bangku SD. Negara itu hancur oleh pertarungan dua kubu berbasis agama yang mendapat dukungan asing.
Tak mengira bila aksi-aksi bom bunuh diri di Lebanon terjadi juga di negara kita setelah beberapa tahun kemudian. Seakan menghentak kesadaran kita semua, negeri kita tak akan luput dari tragedi - tragedi kekerasan berdarah seperti di  negara - negara Timur Tengah.
Menurut saya, gerakan radikal agama ini tak bisa dibendung dengan cara apa pun, musuh mereka bukan agama lain tapi siapa pun yang menghalangi cita - cita gerakan mereka. Mesir konon adalah hulu dari gagasan radikal ini, dari tanah Firaun ini menyebar ke berbagai penjuru dunia. Selama bertahun - tahun gerakan radikal ini bertransformasi dalam bentuk gerakan bersenjata dan politik. Kelompok radikal bersenjata terbesar adalah Al Qaeda, setelah bubar banyak yang bergabung dengan ISIS. Pada jalur politik adalah IM di Indonesia bernama PKS.
Banyak orang berpendapat Al Qaeda, ISIS adalah boneka barat dan Israel, namun saya sendiri tak sepenuhnya setuju. Memang ada campur tangan Amerika dalam membesar organisasi itu, namun ideologi radikal tersebut sudah ada sebelum Barat menunggangi mereka. Kata yang tepat adalah "simbiosis" antara dua kepentingan, pada titik tertentu dua kepentingan tak lagi bisa sinergi yang akhirnya melahirkan pertentangan.
Gerakan radikal bersenjata tak berhenti berjuang, salah bila ada anggapan bisa di deradikalisasi. Bisa jadi simpatisan yang sukses dengan proses ini, tapi kelompok militannya sulit dikembalikan ke pemikiran normal. Anggota kelompok militan ini begitu sikon tak mendukung mereka melakukan deaktifasi yang sewaktu-waktu bisa aktif. Saya kira aparat keamanan pun sulit membendungnya kecuali dengan cara - cara ekstra HAM.
Patut kita pertanyakan gerakan - gerakan di media sosial yang mendukung aksi kekerasan di Mako Brimob dan Surabaya, apakah mereka masih mencintai negeri?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H