Mohon tunggu...
Sigit Budi
Sigit Budi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Content Creator

Pembuat konten video, host podcast , selebihnya pengangguran banyak acara

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Tragis Nasib Buruh, Hanya Dijanjikan lalu Ditinggal

1 Mei 2018   18:47 Diperbarui: 1 Mei 2018   19:21 1106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Kompas.com/David Oliver Purba)

Masa Depan Buruh Suram,

Setiap tanggal 1 Mei selalu di warnai perayaan akbar dari kaum buruh, kegiatan paling menonjol adalah aksi demonstrasi. Substansi tuntutan buruh setiap tahun tak jauh bergeser, yakni kenaikan upah dan kesejahteraan, tahun ini diformulasi dengan akronim "Tiga Layak. Gerakan buruh kini lebih banyak dimainkan di tataran politik praktis untuk kepentingan elit politik, sedangkan masa depan mereka terlupakan.

Saya sendiri dibesarkan di lingkungan buruh, saya tahu sekali perjuangan mereka untuk hidup layak dengan beban tagihan rutin bulanan, seperti listrik, belanja bulanan, kontrakan rumah, pendidikan anak, kesehatan yang tak imbang dengan jumlah UMR. Saya mengerti sekali beban hidup mereka, hampir tiap hari kami berinteraksi satu sama lain, dan kebetulan ayah saya juga bekerja di pabrik yang sama tapi bukan di produksi.

Satu hal yang saya tangkap saat berbincang dengan mereka adalah semangat hidupnya, kekuatan mentalnya, meski berupah pas -pasan dan beban anak lebih dari satu tetap giat bekerja dan tidak kendor. Hanya hukum alam yang mengalahkan, kebanyakan fisik mereka tak kuat menerima deraan beban kerja tinggi dan tekanan kehidupan yang tak kunjung ada jalan keluar.

Bukan rahasia lagi, standar upah ini tidak pernah bisa memenuhi Kebutuhan Hidup Layak (KHL), meski tiap daerah mempunyai standar hidup berlainan. Dibandingkan UMR di Jakarta, UMR di Semarang lebih rendah tapi biaya hidup di Jakarta juga tinggi.

Sebuah kenyataan pahit, populasi Indonesia menempati ranking no. 4 dunia dengan jumlah penduduk kisaran 260 juta jiwa, sayang kualitas SDM nasional masih jauh dari standar internasional.

Saya yakin kenapa orang mau menjadi buruh pabrik atau pekerja kasar karena kompetensi ketrampilannya rendah. Tak menutupi kenyataan, ada juga anak bangsa berprestasi di tingkat internasional, dibandingkan rasio jumlah usia produktif berumur 15 -- 64 tahun yang berjumlah sekitar 160 juta jelas tidak signifikan.

Bila dahulu Soekarno pernah berpidato "Berikan aku 10 pemuda , niscaya akan kuguncangkan dunia", saya yakin maksud Presiden RI pertama ini bukan asal pemuda tanpa ketrampilan, kreatifitas dan pengetahuan. Pasti Soekarno menginginkan 10 pemuda Indonesia dengan kapasitas se-level Mark Zukerberg, pendiri Facebook untuk mengguncangkan dunia.

Faktanya, media pertemanan karya cipta Zuckerberg dan kawan -- kawannya mampu mengguncang dunia, kapitalisasi perusahaan Facebook kapitalisasi ungguli industri -- industri konvensional yang merajai pasar dunia sebelumnya.

Apakah kita butuh kapasitas SDM setinggi itu ? Saya yakin ada talenta berbakat seperti Zuckerberg di Indonesia, yang berpikiran cerdas dan bisa merealisasikannya. Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri dalam satu acara mengatakan, Indonesia banyak memiliki role model anak bangsa berprestasi namun jumlah mereka sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja kita.

Tak heran sebenarnya, ketenagakerjaan merupakan persoalan hilir dimana leading sector -nya adalah ekonomi dan pendidikan. Bila kedua sektor tersebut terangkat pada setiap keluarga -- keluarga Indonesia, anak -- anak Indonesia tidak terpaksa menjadi buruh, pekerja kasar atau TKI untuk bertahan hidup, seperti di negara -- negara maju pekerja kerah biru diisi oleh TKA atau imigran.

Bagaimana mengangkat tingkat ekonomi keluarga lebih tinggi bukan pekerjaan mudah dan seperti trik sulapan. Indonesia pernah memiliki kesempatan menjadi negara maju pada era Orde Baru dimana komoditas alam nasional menghasilkan devisa besar. Mis-management negara oleh pemerintah Orde Baru membuat Indonesia harus tertinggal lagi dari negara lain sejak tahun 1998.

Cukup berat bagi pemerintahan sesudah Orde Baru menaikan rating Indonesia di kancah internasional meski banyak ekonom menawarkan formula instan, faktanya tak ada negara yang dibangun dalam satu malam.

Salah satu kesalahan fatal pemerintahan Orde Baru adalah tidak fokus mencetak SDM berkualitas internasional dengan rasio signifikan mengikuti perkembangan populasi. Bahkan lebih suka menikmati devisa dari TKI penempatan di luar negeri hingga kini. Meski persoalan TKI sendiri juga "gunung es" dari ketidakberdayaan pemerintah daerah dalam mengelola ekonomi dan keuangan di wilayahnya.

Dampak ketertinggalan kualitas SDM ini, pada saat negara menggenjot pembangunan infrastruktur, kita kekurangan tenaga kerja level menengah bersertifikasi internasional. Padahal syarat ini adalah tuntutan dari kesepakan investasi dan komitmen Indonesia menjadi anggota komunitas perekonomian internasional seperti Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Padahal bila kita serius menangani, pekerja kita juga diuntungkan bisa mengakses pekerjaan di luar negeri dengan standart gaji lebih baik.

Kompleksitas persoalan ekonomi, sosial dan ketenagakerjaan yang timpang juga terjadi di semua negara dunia ketiga yang merangkak ke dunia kedua. Demikian hal dengan Indonesia, kita tidak bisa mengharapkan negara atau pemerintah sepenuhnya memperbaiki hidup pekerja tapi kita sendirilah yang mesti berubah. Tanpa perubahan diri sendiri dan selalu mengharapkan uluran pihak luar untuk kemajuan pribadi tak akan membuat nasib kita lebih baik.

Demikian hal dengan saudara -- saudara kita kaum buruh seyogyanya mulai belajar dan mengubah cara berpikir (mindset) dari bekerja di pabrik sebagai satu -- satunya pilihan ke alternatif pekerjaan lain yang sesuai dengan minat dan bakatnya.

Masih banyak acara untuk bertahan hidup, apalagi sejak internet mudah diakses lewat perangkat handphone, informasi apa pun bisa kita dapatkan. Sayang sekali lebih banyak pekerja, karyawan, buruh memanfaatkan perangkat ini hanya untuk sosialiasi dan memperlihatkan eksistensi dirinya di media sosial.

Pekerja kasar atau buruh jaman sekarang banyak diuntungkan dengan fasilitas pemerintah terutama oleh anggaran pendidikan dan kesehatan. Untuk pendidikan, saat ini tiap memberikan sarana sekolah gratis yang banyak mengurangi biaya rutin bulanan rumah tangga.

Biaya pendidikan anak dalam anggaran rumah tangga bisa mencapai 60 persen dari pendapatan kotor dengan standar UMR bila mempunyai anak sekolah lebih dari satu. Untuk meningkatkan ketrampilan dan keahlian sesuai peminatan juga tersedia Balai Latihan Kerja (BLK) dari Kementerian Perindustrian dan Kementeria Tenaga Kerja.

Pemanfaatan buruh oleh para elite untuk aksi -- aksi demontrasi dan dukung -- mendukung tokoh politik sesungguhnya tak memberikan manfaat secara langsung bagi kesejahteraan buruh. Sebaiknya semua stake holder ketenagakerjaan mendorong buruh dan pekerja meningkatkan kualitas ketrampilan dan kompetensi kita agar lebih bisa bersaing di pasar kerja internasional dan memperoleh penghidupan lebih layak.

Buruh jangan jadi alat politik untuk mendulang suara semata, selesai  Pemilu selesai juga janji peningkatan kesejahterannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun