Mohon tunggu...
Sigit Budi
Sigit Budi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Content Creator

Pembuat konten video, host podcast , selebihnya pengangguran banyak acara

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengapa "Bully" Jokowi dan PSI? Ini Alasannya

4 Maret 2018   23:49 Diperbarui: 5 Maret 2018   00:41 2101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Tribunnews.com

Hasil pengumuman verifikasi partai oleh  KPU pada 17 Februari 2018 ada 4 partai baru yang, yakni : Partai Gerakan Perubahan Indonesia, Partai Berkarya, Partai Persatuan Indonesia, Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Dari keempat partai baru, paling fenomenal adalah PSI, sejak dinyatakan lolos gelombang  sindiran, nyinyiran, fitnah menghantam PSI.

Sebelum dinyatakan lolos ikut Pemilu 2019 sejumlah tokoh partai ini telah dikenal masyarakat, antara Tsamara, Guntur Romli dan Grace Natalie - Ketua PSI, mantan jurnalis dan tv host TV Swasta. Keterlibatan mereka dalam berpartisipasi menyikapi isu politik nasional menjadi perhatian publik dan media massa, dan generasi millenial.

Persoalannya, mengapa hanya PSI yang jadi sasaran lampu sorot di panggung politik? Padahal ada 3 partai baru lain yang sama - sama lolos verifikasi administrasi dan faktual dari Komisi Pemilihan Umum?

Saya ingin memberikan gambaran sedikit "background" sentimen negatif terhadap PSI.

1. Verifikasi Admin dan Faktual dari KPU

KPU menerapkan metode baru dalam proses pengesahan partai politik dengan Tehnologi Informasi (TI) atau dikenal dengan Sistim Informasi Partai Politik (Sipol), bisa di chek di lewat online di www.sipol.kpu.go.id. Situs ini bisa dikatakan sebuah "platform" untuk semua partai politik peserta pemilu. 

Tujuan KPU ingin menyelaraskan data - data anggota partai dengan data kependudukan seperti Nomor Induk Kependudukan (NIK) sehingga tidak terjadi duplikasi data. Namun banyak partai tidak siap termasuk partai lama, sesungguhnya partai dengan admistrasi yang baik atau berbasis TI sangat mudah mengikuti Sipol KPU ini.

Tak heran banyak kritikan atas Sipol dan pelaksanaannya, toh akhirnya ada beberapa partai tak lolos.  PSI sebagai partai baru yang diisi anak - anak muda militan dan "melek" tehnologi tak sulit menyesuaikan dengan Sipol, bahkan tim IT PSI juga membuat Sipol yang diakui KPU. 

Untuk sosialisasi dan rekrutmen anggota PSI mengandal media sosial dan internet marketing. Metode ini sangat murah dan efektif menjangkau publik secara luas. Bagi yang biasa dengan metode pemasaran digital (digital marketing) tak heran dengan cara - cara ini.

2. PSI Bentukan Istana

Beberapa partai yang tidak lolos bukan tak mungkin menghembuskan isu tak sedap terhadap PSI. Terhadap 3 partai baru di luar PSI tak ada suara "nyinyir" mungkin publik tahu siapa dibelakang mereka.

Nah, PSI hanya kumpulan anak - anak muda kok bisa lolos ? Spekulasi pun ditiupkan PSI adalah partai istana, partai Jokowi, apalagi petinggi PSI punya akses secara resmi bertemu Presiden tak lama dinyatakan lolos KPU.  Kalau meneliti partai tak lolos KPU ada PKPI dimana Hendropriyono adalah pendukung militan Joko Widodo.  Kok tidak bisa lolos? Otomatis opini atas PSI sebagai partai pro-pemerintah sehingga diloloskan KPU otomatis gugur.

3. PSI adalah Komunis "Zaman Now"

Bila menilik tuduhan ini jelas sekali, siapa penghembusnya. "Stigma Komunis" dihembus - hembuskan sebagai "public enemy" untuk mengarahkan opini publik PSI identik Komunis gaya baru.

Pada sisi lain opini publik diarahkan  untuk memuja pahlawan"zaman old" yang menitis pada partai - partai baru. Isu kebangkitan Komunis jelas dihembuskan oleh kelompok yang di masa lalu pernah berjaya dan berkuasa 32 tahun di negeri ini. Siapa lagi kalau bukan kelompok Orde Baru, patut dicatat Orba mewariskan kemunduran bagi Indonesia. Sekolah gratis, asuransi kesehatan sosial, teansportasi publik yang beragam seharusnya bisa kita nikmati 30 tahun lalu. 

Faktanya Orba mewariskan hutang negara,  terkurasnya sumber daya alam oleh asing, eksplorasi hutan, pembagian kue ekonomi terpusat kepada keluarga penguasa dan kroninya, serta budaya korupsi akut.

4. Ketakutan PSI Mengikis Pemilih Partai Lain

Alasan ini keempat ini mungkin mengada-ada, tapi bila simpati generasi millenial ke PSI menjadi sangat mungkin. Generasi millenial dan generasi "Y" potensial suara, mereka masuk dalam kategori pemilih muda.

"Berdasarkan pendataan data pemilih, pemilih berusia 17-38 tahun mencapai 55 persen dari jumlah total pemilih pada Pemilu 2019," kata Sirajuddin Abas, Dir Program SMRC pada diskusi "Menakar Cawapres 2019" di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Kamis (Republika, 9/11).

Catatan dari Kemendagri potensi pemilih di tahun 2019 sebanyak 196,5 juta orang dipastikan memiliki hak pilih (sindonews 16/12/2017). Tentu bukan jumlah yang kecil potensi pemilih dari PSI, tentu data ini membawa kekuatiran partai lama dan partai baru yang belum jelas basis massa pemilihnya.

5. PSI adalah partai dari pengikut Ahok

Tuduhan ini paling sering terdengar dan paling sering menjadi bahan "bully" mengingat Ahok saat ini terpidana oleh kasus penodaan agama. Meski begitu, siapa pun warga negara Indonesia memiliki hak konstitusi termasuk hak politik. Lain soal bila pengadilan mencabut hak politiknya.

"De jure"nya selama yang bersangkutan melakukan perjuangan politik sesuai koridor politik dan hukum, negara tidak bisa melarang. Contohnya salah satu Wakil DPRD DKI Jakarta adalah mantan terpidana korupsi KPUD DKI Jakarta bisa menjadi ketua partai dan duduk sebagai anggota legislatif. 

Kecuali perjuangan politik itu bertujuan mengganti dasar negara dan konstitusi, negara wajib melarang. Saat ini saja masih ada partai yang belum mengakui Pancasila sebagai asas tunggal secara tegas dalam AD/ART partai tapi bisa mempunyai wakil di parlemen, lalu siapa yang salah ? 

Konteksnya dengan PSI adalah partai resmi dan manifesto politiknya tidak memperjuangkan sebuah negara baru di atas NKRI. Justru PSI ingin memperbaiki sistim politik nasional  lewat berpolitik secara bersih dan toleran. PSI  mau dituduh pro Ahok atau Pro Jokowi selama masih dalam koridor hukum dan politik bukan persoalan signifikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun