Mohon tunggu...
Sigit Budi
Sigit Budi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Content Creator

Pembuat konten video, host podcast , selebihnya pengangguran banyak acara

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Lawan Radikalisme dan Ekstremisme lewat Konten Positif

19 Februari 2018   21:25 Diperbarui: 20 Februari 2018   15:34 981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kampanye positif di media sosial untuk lawan radikalisme dan ekstremisme (positivecontent.eu)

Menteri Propaganda ideologi Fasis era Adolf Hitler Goebbels, pernah mengatakan kurang lebih seperti ini, sebuah kebohongan bila terus - menerus dikampanyekan akan dianggap sebagai sebuah kebenaran. Dalam suatu kesempatan saya diajak mengikuti sebuah diskusi tentang di  Kantor Staf Presiden dengan (KSP) tema "Tantangan Menanggulangi  Radikalisme dan Ekstremisme" (14/02/201). Sebuah topik yang berat namun  kontekstual dengan kondisi sosial terkini.

Fenomena - fenomena kekerasan verbal dan non - verbal sudah menjadi tren  di masyarakat. Di ranah media sosial, tak asing lagi dengan postingan  kekerasan non - verbal yang isinya saling menghujat, mencaci - maki oleh  satu kelompok terhadap kelompok lain, kalangan pendukung oposisi  terhadap kalangan pendukung pemerintah.

Apakah anda termasuk di dalam salah satunya, semoga tidak.

Kekerasan  - kekerasan non- verbal di dunia maya ternyata ada beberapa  kasus yang berlanjut ke dunia nyata. Banyak kasus yang asal-muasal dari  perdebatan dan polemik di media sosial lalu berlanjut ke ranah dunia  nyata. Beberapa kejadian ini bahkan akhirnya menjadi "viral" di media  sosial.

Apa yang terjadi belakangan ini kadang sulit  kita mengerti, bagaimana  tidak, gara - gara perdebatan di media sosial ujungnya kekerasan fisik.  Sedemikian parahkan moralitas warga negara Indonesia yang selalu bangga  mempunyai Pancasila dengan sila pertama tentang Ketuhananan.

Fenomena - fenomena sosial yang timbul dari implementasi tehnologi  informasi ini tak terbayangkan semasa media informasi paling canggih  adalah media televisi. Begitu memasuki era digital informasi kita gagap  dan gagal menyikapi secara bijak dan arif.

Media sosial lebih banyak dijadikan sarana promosi konten negatif  seperti seks, kekerasan, agitasi politik, ujaran kebencian. Sedangkan  konten - konten positif seakan tenggelam. Teori media klasik tentang  konten media ternyata masih berlaku, pengakses media   lebih menyukai  tema  berbau "Sex, War and Crime".

Dewasa ini tiga tema itu juga menjadi favorit pengguna sosial media di  Indonesia. Betapa rajin dan giat pengguna internet di media sosial.  Fakta ini senada dengan paparan Hasan Chabibie dari Pustekkom dalam  diskusi tersebut, ia memaparkan soal "hate spin" atau pelintiran  kebencian merajalela di media sosial kita. Mengutip laporan Tetra Pak  Index 2017, Hasan menyatakan 132 juta pengguna internet di Indonesia, 40 persennya gila media sosial.

Fakta ini tentu memprihatinkan, berbanding terbalik dengan laporan  UNESCO tentang  tingkat literasi kita.  Menurut UNESCO, Indonesia berada  di posisi 60 dari 61 negara dengan literasi rendah. Bisa jadi kemalasan  kita membaca, apalagi menulis menjadi biang kegagalan kita menyaring  informasi dari media sosial.

Dari titik ini saya bisa mendapatkan pencerahan, mengapa warganet mudah  sekali terprovokasi oleh konten "hate spin" di media sosial. Gampangnya,  kebanyakan pengguna internet di Indonesia mudah menelan mentah - mentah  informasi di media sosial tanpa menyaring terlebih dahulu.

Dalam diskusi yang diikuti berbagai elemen masyarakat ini terkuak, semua  pihak memprihatinkan kondisi sosial kita, terutama berkait konten  radikalisme di media sosial. Dr. Iriani Sophiaan, M.Si, Forum Bela  Negara Alumni UI, memberikan definisi tentang terminologi ini. Menurut  Iriani, radikalisme adalah paham yang menginginkan perubahan politik dan  sosial  sampai ke akar - akarnya  secara ekstrim dan menggunakan  kekerasan.

Saya langsung bisa mengerti setelah mendapatkan definisi ini, dan dapat  membedakan konten di media sosial yang berkait dengan faham radikal atau  bukan. Postingan kekerasan non-verbal dalam format teks, gambar dan  video belakangan yang  berseliweran di "timeline" Twitter dan Facebook  sangat memprihatinkan.

Pengguna internet kita yang masih rendah dalam menyaring informasi  rentan terpengaruh oleh konten - konten seperti itu. Iriani juga  memaparkan tentang tingkat keterpengaruhan ajaran radikal dari waktu -  waktu di Indonesia terus naik.

Menurut Iriani, kaderisasi kelompok penganut radikalisme sudah dilakukan  bertahun - tahun (5 - 6 tahun) dan grafik-nya terus meningkat. 5 tahun  lalu, dari 20 anak satu diantaranya terpapar ajaran radikalisme, tahun  2017 sampai sekarang menjadi 1 dari 5 anak. 

Paparan penggiat Bela Negara ini senada dengan pernyataan Kepala BNPT,  Komjen Pol. Suhardi Alisius yang dimuat di media massa (Republika 13  Februari 2018), penyebaran faham radikal sudah mengkuatirkan, menyusup  secara sistimatik ke sistim kenegaraan, instansi - instansi pendidikan  termasuk perguruan tinggi.

Penyebaran paham radikalisme dan rekrutmen kader dilakukan berbagai  metode, antara lain metode seperti MLM dan media sosial.  Ironisnya  media sosial ini digandrungi kalangan muda, termasuk dari 40 persen  pengguna internet yang aktif di media sosial. Metode penganut paham  radikal menggunakan metode Goebbels yang saya tulis di awal tulisan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun