Saya langsung bisa mengerti setelah mendapatkan definisi ini, dan dapat  membedakan konten di media sosial yang berkait dengan faham radikal atau  bukan. Postingan kekerasan non-verbal dalam format teks, gambar dan  video belakangan yang  berseliweran di "timeline" Twitter dan Facebook  sangat memprihatinkan.
Pengguna internet kita yang masih rendah dalam menyaring informasi  rentan terpengaruh oleh konten - konten seperti itu. Iriani juga  memaparkan tentang tingkat keterpengaruhan ajaran radikal dari waktu -  waktu di Indonesia terus naik.
Menurut Iriani, kaderisasi kelompok penganut radikalisme sudah dilakukan  bertahun - tahun (5 - 6 tahun) dan grafik-nya terus meningkat. 5 tahun  lalu, dari 20 anak satu diantaranya terpapar ajaran radikalisme, tahun  2017 sampai sekarang menjadi 1 dari 5 anak.Â
Paparan penggiat Bela Negara ini senada dengan pernyataan Kepala BNPT,  Komjen Pol. Suhardi Alisius yang dimuat di media massa (Republika 13  Februari 2018), penyebaran faham radikal sudah mengkuatirkan, menyusup  secara sistimatik ke sistim kenegaraan, instansi - instansi pendidikan  termasuk perguruan tinggi.
Penyebaran paham radikalisme dan rekrutmen kader dilakukan berbagai  metode, antara lain metode seperti MLM dan media sosial.  Ironisnya  media sosial ini digandrungi kalangan muda, termasuk dari 40 persen  pengguna internet yang aktif di media sosial. Metode penganut paham  radikal menggunakan metode Goebbels yang saya tulis di awal tulisan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H