Menggelitik pikiran saya ketika membaca postingan-postingan di media sosial twitter dan grup-grup Facebook soal isu "penjualan asset negara" oleh pemerintah. Isu ini digelontorkan secara massal, bahkan ada anggota DPR dan tokoh agama berperan sebagai "endoser"-nya.
Persoalan ini memang tidak mudah dicerna oleh masyarakat umum, apalagi untuk mereka dengan literasi keuangan minim atau tak memiliki latar belakang ilmu ekonomi. Sulit sekali menjelaskan esensinya bila tak memahami prinsip-prinsip dasar ekonomi dan pasar terbuka.
Sebagai sebuah negara yang menganut ekonomi pasar terbuka, negara kita membuka pintu kerjasama investasi lewat BKPM dengan negara lain (G2G) atau dengan Multi National Company (MNC). Format kerjasama beraneka ragam, ada investasi langsung seperti beberapa perusahaan dari luar negeri yang membangun infrastruktur sekaligus sebagai pendana (funder). Ada juga investasi tak langsung, artinya hanya memberikan dana sedangkan kontraktor dan operator bisnis adalah BUMN atau swasta.Â
Investasi antar negara di era ekonomi global adalah sebuah keniscayaan, bukan hal tabu. Uang setiap hari mengalir ke berbagai negara tanpa melihat ideologinya, uang adalah raja, ideologi apa pun negara itu butuh investasi untuk menggerakan ekonomi nasionalnya.Â
Hingga hari ini hanya sedikit negara yang menganut sistim ekonomi tertutup, contoh di depan mata adalah Korea Utara. Negara ortodhox agama seperti Arab Saudi pun menggandeng investor dari luar termasuk Cina. Apakah artinya Arab Saudi menjual asset ke Cina? Sebaliknya Arab Saudi juga investasi di Cina, apakah artinya Cina menjual asset ke Arab Saudi? Beberapa waktu lalu Raja Salman berkunjung ke Indonesia dan menginvestasikan dana trilyunan rupiah, salah satunya untuk pembiayaan infrastruktur. Apakah Indonesia menjual asset infrastruktur ke Arab Saudi?
Wakil Gubernur DKI Jakarta setelah kunjungan ke Timur Tengah mengabarkan akan ada investasi trilyunan ke Jakarta. Apakah artinya Sandiaga juga menjual Ibu kota Jakarta ?Â
Kami menargetkan investasi DKI di tahun 2018 meningkat menjadi Rp 100 Trilyun. Once again, thanks for inviting me at @ICDdubai Global Investment Forum 2017. pic.twitter.com/fuXMwDHn8G--- Sandiaga S. Uno (@sandiuno) November 17, 2017
Dalam dunia periklanan dikenal istilah "slice of life", sebuah format film iklan dengan mengambil suatu kisah/cerita sehari-hari. Jenis iklan TV ini sangat populer, contohnya adalah iklan rokok "Sampoerna Hijau". Beberapa merek rokok juga menggunakan pendekatan ini. Dalam dunia sinetron/drama televisi dikenal dengan sebutan "fragmen", sebuah tayangan TV yang mengambil salah satu kisah kehidupan. Biasanya kisah fragmen bersifat tematik, dalam satu tayangan berisi satu tema. Tentu kita masih ingat kisah "Keluarga Cemara" yang dilayarkacakan, kisah sebuah keluarga sederhana dari penulis Arswendo Atmowiloto.
Dalam pengemasan, baik format "slice of life" dan "fragmen" ada sebuah penyederhanaan masalah (simplifikasi). Sebab tidak mungkin dalam tayangan 30 detik untuk film iklan dan 60 menit untuk tayangan TV bisa merekam sebuah masalah kehidupan secara mendalam.Â
Kembali pada soal isu "jual asset', terjadi juga penyederhanaan pemaknaan terminologi "investasi" menjadi "jual". Padahal istilah  "investasi" tak sepadan dengan kata "jual" seperti yang dipahami masyarakat umum. Terminologi jual dan beli adalah transaksi ekonomi klasik meski saat ini juga masih berlangsung antar negara, seperti jual beli komoditas. Juga istilah "sekuritisasi" pun dimaknai sebagai sebuah kegiatan memindahkan kepemilikan seperti kegiatan jual beli rumah, tanah atau mobil. Padahal sekuritisasi adalah cara perusahaan atau negara mendapatkan tambahan dana lewat pasar modal atau pasar uang di pasar lokal atau global.Â
Investasi, sekuritisasi adalah kegiatan bisnis modern di era pasar terbuka, siapa pun bisa memiliki saham perusahaan dimana pun. Seperti kisah investasi milyuner dari Timur Tengah ke Eropa dan Amerika, mereka membeli sebagian saham perusahaan bahkan saham-saham Klub sepakbola di Inggris dan Amerika.
Menarik masalah secara ekstrim persoalan ekonomi dan investasi demi tujuan politik adalah pembodohan. Pemanfaatan rendahnya literasi keuangan masyarakat kita menjadi komoditas empuk untuk bahan bakar politik seperti halnya rendahnya literasi keagamaan.
Maka tak heran akan selalu ada korban-korban investasi "bodong" dan bisnis Ponzi seperti yang dilakukan Koperasi Pandawa dan First Travel. Elit-elit politik negara ini justru memanfaat kebodohan masyarakat untuk kepentingan sesaat.Â
Negara Indonesia didirikan untuk mensejahterakan rakyat, adapun salah satu cara dengan pendekatan ekonomi. Apakah dewasa ini ada teori ekonomi yang diberlakukan mutlak di sebuah negara, baik sistem ekonomi Kapitalis atau Sosialis? Tak satu pun negara yang bisa, Cina yang berideologi Komunis dengan ekonomi Sosialis kini berkompromi dengan paham Kapitalis.Â
Amerika sebagai dedengkot Kapitalis, kini juga melakukan proteksi ekonomi dalam negeri. Donald Trump semasa kampanye melontarkan isu penarikan pabrik-pabrik pengusaha Amerika di luar negeri, seperti Apple untuk kembali ke Amerika faktanya juga tidak mudah.
Dalam tatanan ekonomi global saat ini agar bisa "survive" bersaing kuncinya pada kualitas SDM. Hanya negara yang serius menginvestasikan SDM dan riset berkelanjutan yang mampu menjadi kekuatan ekonomi dunia. Negara di Asia yakni Jepang, Korea, Cina yang saat ini adalah beberapa pemain ekonomi terkuat dunia telah melalui itu dan mereka bisa melakukan loncatan katak untuk mengejar ketinggalan.
Fenomena "Post Truth" (seseorang kini dapat merasa benar dengan mudahnya karena dia percaya sesuatu itu benar, tanpa ada kejelasan fakta di dalamnya; I believe therefore i'm right! - Indoneside.com) di kalangan pengguna media sosial turun membuat literasi masyarakat kita makin jatuh.Â
Akibatnya dengan mudah kita membenarkan berita-berita tanpa melakukan perbandingan informasi. Konteks nya juga soal isu "penjualan asset negara" oleh pemerintah sudah menjadi kebenaran oleh sebagian masyarakat. Meski disodori dengan fakta-fakta sudah tidak mempan, karena info yang benar bersumber pada keyakinannya, bukan fakta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H