Salah satu kebijakan Pemda DKI Jakarta setelah Anies - Sandiaga  menjabat Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta adalah penetapan Monas sebagai area publik terbuka untuk kegiatan semua komunitas keagamaan. Kenapa kebijakan tersebut menjadi suatu hal yang patut dicermati kalau tidak boleh dicurigai ?
Semasa Basuki -Djarot Kawasan Monas bisa dikatakan sebagai ruang publik yang steril dari kegiatan keagamaan. Bahkan secara khusus Pemda DKI Jakarta Pemda DKI menata Monas dengan apik dan cermat. Menghilangkan kekumuhan dari pedagang asongan dan kereta kuda yang sebelumnya ada. Monas menjadi kawasan yang relatif teratur, bersih dan nyaman bagi siapapun yang menikmatinya.
Tak ada angin, tidak ada petir, kebijakan Gubernur lama tiba - tiba dicabut, bahkan terkesan buru - buru. Mengingat Anies di publik  selalu menampilkan sosok intelektual dan terukur dalam berbicara. Kebijakan ini terkesan tanpa kajian mendalam mendalam.
Padahal saat peresmian oleh Presiden Jokowi tol Becakkayu, Anies sempat melontarkan soal  AMDAL - nya yang justru menuai "bully". Proyek ini sudah separuh jalan dan baru pada era Presiden Joko Widodo terselesaikan. Mestinya AMDAL sudah ada saat inisiasi pertama kali dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Apakah dengan tidak adanya AMDAL lalu dibiarkan "mangkrak" begitu saja?
Sebagai aset Pemda DKI Jakarta dan Pemerintah RI, Kawasan Monas adalah simbol Indonesia selain simbol Jakarta. Saya bertanya - tanya kenapa kebijakan pencabutan itu langsung dikumandangkan. (Izin Kegiatan Keagamaan di Monas Ada di Tangan Anies)Â
Ketika pertanyaan itu belum terjawab, di media sosial beredar publikasi soal reuni 212, bahkan media "mainstream" pun mengutip pernyataan pejabat pemerintah soal esensi dan urgensi kegiatan itu. Belakangan soal perijinan kegiatan itu menjadi polemik, pihak Pemda DKI Jakarta lewat pernyataan Anies melemparkan tanggung jawab kepada pihak Kepolisian sebagai pemberi ijin kegiatan. Secara tidak langsung Anies ingin mengatakan pihaknya  tidak bertanggungjawab atas kegiatan itu.
Anies Baswedan Hadiri Reuni 212 di Monas https://t.co/AYq2xllBBvpic.twitter.com/9pzYmDE4Ia--- detikcom (@detikcom) December 1, 2017
Menarik bila dicermati  kronologisnya antara munculnya kebijakan itu dalam konteks nya menjelang "Tahun Politik".
1. Monas dan Istana Merdeka
Kedua bangunan ini letaknya berhadap - hadapan. Dalam  lanskap  tata kota lama, di depan simbol kekuasaan selalu terhampar ruang terbuka. Jejak - jejak itu masih juga terlihat di situs kerajaan Mataram baru di Yogya dan Solo dan eks daerah - daerah penguasaannya.
Dalam lanskap tata kota modern mungkin sudah sulit diimplementasikan, mengingat keterbatasan lahan yang ada. Kembali soal Monas, saat Pilkada lalu Monas adalah sentral pengumpulan massa yang berdemo untuk menuntut turunnya Ahok. Sasaran demonstran di Monas ternyata tak mengarah ke Gedung Balaikota Pemda DKI Jakarta sebagai simbol pemerintahan DKI Jakarta. Sebaliknya mengarah ke Merdeka Selatan dimana simbol kekuasaan RI berada.
Sudah menjadi rahasia umum, kasus Ahok hanya sasaran antara, ada agenda yang lebih besar itu. Indikasinya, saat demonstrasi banyak tokoh politik dari berbagai daerah ikut serta mendukung gerakan itu dengan modus dukungan moral keagamaan.
Secara politik sah - sah saja, dalam iklim demokrasi semua pihak terjamin UU untuk mengekspresikan pendapat di depan umum. Ternyata pola ini akan diadopsi, terutama untuk tujuan - tujuan tertentu d tahun depan. Apalagi Gubernur adalah pihak yang diuntungkan oleh kegiatan keagamaan yang menuntut Ahok saat itu.
2. Mengulang  Modus Demo Berjilid Jelang Pilpres
Setelah sukses menggelar demo massa secara berjilid dan sukses mengantar calon menjadi penguasa, koalisi ini ingin mengulang lagi pada 2 tahun ke depan. Penguasaan DKI Jakarta semakin memberikan ruang dan dukungan moral serta logistik baru. Sangat tidak mungkin Gubernur DKI Jakarta tidak mendukungnya. Salah satu cara untuk menghindari kecurigaan publik atas agenda ini dilakukan dulu event" Kirab Kebangsaan" yang bernuansa kebhinekaan, berikutnya baru reuni 212. Coba bayangkan bila tidak didahului kegiatan Kirab, pasti netizen langsung mencela, dengan event itu Gubernur bisa ber-apologi bahwa dirinya berdiri di semua kalangan.Â
Pertanyaannya seberapa sering nanti Monas akan digunakan oleh pemeluk agama lain dan ormas Islam terbesar di Indonesia yakni NU dan Muhammadiyah ? Bisa jadi pengguna rutin adalah organisasi berbeda - beda tapi orang - orangnya  sama. Pertanyaan berikutnya akan muncul, apa agenda sesungguhnya berkumpul di Monas ?
3. Pameran Kekuatan Massa Terhadap Istana Merdeka
Kembali ke belakang, saya melihat konteks pembukaan akses Monas untuk kegiatan terkait dengan sukses pola ini di Pilkada lalu. Sehingga "platform" ini akan diteruskan sebagai sarana penggalangan massa keagamaan seperti waktu lalu. Tidak usah dipaparkan siapa penerima manfaat dari kegiatan keagamaan di Monas. Nantinya bisa terlihat organisasi apa saja yang sering menggunakan dan isu - isu apa yang akan disampaikan pada tahun depan.
Lewat paralelisasi isu nasional dan pesan - pesan keagamaan di Monas, dimana kawasan ini menjadi medium suara langsung ke Istana. Apakah hal itu akan terjadi ? Mengingat pengalaman lalu sangat mungkin pembelokan kegiatan agama untuk politik praktis.Â
Salam...Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H