"Permisi, pak", ujarku pada seorang pria setengah baya yang duduk di teras rumahnya. Pagi itu seperti biasa aku siap - siap berangkat keluar rumah. Setiap hari aku melewati rumah Pak Hadi, karena rumahku terletak di sebelah rumah dia. Ekspresi wajahnya tak berubah meski tiap hari aku menyapanya.
Perubahan sikap terjadi setelah Pilkada DKI Jakarta lalu, kebetulan kita beda kubu. Sejak kubunya menang, sikapnya jadi berubah, dia tak lagi ramah terhadap tetangga. Pak Hadi termasuk salah satu pendukung calon gubernur yang menang. Padahal mayoritas warga kampungku mendukung petahana yang sudah terbukti memberikan banyak manfaat bagi warga.
Setiap sore warga kampung terutama ibu - ibu dan anak - anak pada kumpul di RPTA. Ibu - ibu kumpul sesamanya, anak dengan anak - anak bermain di arena bermain di lokasi itu. Sedangkan para remaja cowok bermain bola tiap sore. Sebelum ini kegiatan warga kampungku sepi, tidak seperti sekarang.
Belakangan terlihat aktifitas di rumah Pak Hadi ramai, Â semacam rapat - rapat. Semua tamunya orang luar, uniknya mereka memakai baju seragam. Aku tak perhatiin identitas mereka, juga tidak perhatikan apa yang mereka bicarakan. Desakan ekonomi membuatku tidak fokus ke hal lain selain mencari tambahan pendapat keluarga.
Setelah lewati rumah Pak Hadi aku "starter" motor jadul kesayanganku. Aku tancap gas menuju Balaikota, hari ke - 10 sejak aku ambil antrian nomor pengajuan Kredit DP 0%. Kemarin aku sudah ijin setengah hari dari kantor, berharap hari ini  berkas dokumenku sudah bisa masuk.
Tiba di Balaikota kerumunan manusia masih menyemut, seperti antrian makanan di saat Perang Dunia II. Aku ingat gambaran ini karena beberapa hari melihat film dokumeter PD I dan II di channel Youtube.
"Nomor antrian 1001 harap menuju ke meja 3", terdengar dari speaker suara seorang wanita. Aku bergegas menuju meja 3 menemui petugas pria dan wanita. Petugas pria meminta dokumen yang sudah kusiapkan yaitu KTP, KK, Surat Keterangan Gaji, Surat Pengantar Tidak Memiliki Rumah Tinggal dari Kelurahan.
Lalu petugas wanita menyodorkan sebuah formulir sebanyak 2 lembar dan memintaku mengisinya. Dengan cepat aku selesaikan semua kolom isian tersebut dan tanda tangan di bawahnya. Waktu sudah jam 11 siang, aku harus segera ke kantor. Setelah  menyerahkan formulir tersebut, petugas memberikan tanda terima.
" Bapak tunggu pengumuman 2 bulan lagi, kami akan memprosesnya, hasil penilaian akan dikirimkan ke alamat yang tercantum", ujar petugas wanita dengan ramah.
"Terima kasih, mbak", balasku, lega rasanya setelah pengajuanku diterima. Buru - buru aku menuju parkir motor dan memacu kudaku ke kantor. Sesampai di kantor percetakan tempatku kerja kusempatin WA istri soal pengajuan itu.
"Dik, pengajauan kredit rumah sudah selesai, kita tunggu kabarnya 2 bulan lagi", ujarku di WA.
" Syukurlah, Mas semoga Tuhan denger doa kita punya rumah sendiri", balas istriku di WA.
Waktu terus berjalan, aku baca di media online pelamar kredit rumah murah mencapai 500 ribu. Menurut Sekretaris Daerah yang dikutip media itu, saat ini panitia sedang melakukan seleksi kelayakan para pelamar.
Dua bulan sudah lewat tapi belum ada kabar apapun soal status pengajuanku. Iseng - iseng aku telp nomor Hotline yang tercantum di kertas tanda terima.
"Maaf, saat ini petugas kami sedang sibuk, mohon hubungi kami beberapa saat lagi", ujar wanita di ujung telpon, pastinya sebuah rekaman suara untuk menjawab telpon masuk. Berkali - kali aku menelpon namun selalu dijawab oleh mesin.
Hari ini tidak ada lembur, jam 5 sore aku cabut pulang. Sampai di rumah pukul 18.30, setelah parkir motor di teras yang cuma sejengkal, pas untuk motor aku menuju kamar mandi. Kebiasaanku bila pulang kerja langsung mandi sebab kerja di percetakan banyak mengeluarkan keringat.
Setelah berganti pakaian sambil menunggu istri menyiapkan makan malam aku menuju teras rumah.
" Antum sudah terima surat belum dari Balaikota",tanya Pak Hadi kepada salah seorang tamunya.
"Sudah, pak baru kemarin terima suratnya, pengajuan saya diterima", jawab tamunya.
" Syukurlah, saya sudah kirim 100 nama di grup kita, saya sudah pastikan semua mendapatkan", ujar Pak Hadi.
"Jlebs", aku tercengang mendengar pembicaraan Pak Hadi dengan tamunya. Buru - buru aku masuk rumah, istriku melihat raut muka berubah tapi aku berusaha menutupi dengan pertanyaan soal menu makan malam.
"Apa lauknya, Dik ?", tanyaku.
"Ayam goreng dan sambel terasi kesukaanmu", jawab istriku. Aku langsung mengambil piring dan menyantapkan makanan yang disajikan istriku. Selesai makan iseng - iseng nonton salah satu channel tv berita yang menayangkan rencana Gubernur baru untuk membuatkan jaringan mini market untuk UKM.
"Apalagi nih ?", pikirku. Tak lama kemudian aku tertidur, Â perjalanan mimpiku masih panjang, tidur lagi ahhh ....
Next :Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H