Pemegang KTP DKI Jakarta tentu sangat suka cita dengan program kepemilikan rumah dengan uang muka 0%. Dalam janji kampanye Anies – Sandy menyatakan DP rumah 0%, tapi dalam situs resmi kampanye, satuan “persen” diganti dengan “rupiah”. Resminya program ini adalah program kepemilikan rumah dengan “DP Rumah 0 rupiah”. Whatever lah !!!
Program ini sangat bagus bagi warga DKI Jakarta yang tidak memiliki rumah tinggal di wilayah DKI Jakarta, sementara untuk membeli rumah di luar wilayah DKI Jakarta sangat – sangat tidak efisien mengingat sumber pendapatan / pekerjaan berada di DKI Jakarta dan penghasilan bulanan (Take Home Pay) hanya setinggi Upah Minimum Pekerja (UMP). Kurang lebih UMP di DKI Jakarta adalah 3,2 juta per bulan (setiap tahun naik).
Seorang kepala rumah tangga dengan 2 anak sekolah dan tinggal di kontrakan / rumah petak akan “berbunga –bunga dengan program DP Rumah 0% ini. Tapi juga menimbulkan kecemasan perasaan dan mengguncang logika pekerja (termasuk saya) para penghuni rumah petak dengan harga sewa maksimal 1 juta per bulan dan penghasilan 3,2 juta / bulan.
Mengapa ? Penghasilan pekerjaan informal, staf kantor biasa, pekerja konstruksi / bangunan di Jakarta tidak lebih dari 3,5 juta per bulan. Pendapatan ini, adalah penghasilan tetap / rutin yang bisa dijadikan andalan untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan sosial. Bila ada penghasilan tambahan diluar penghasilan tetap adalah “rejeki nomplok” saja, tidak bisa dijadikan patokan pendapatan.
Sudah menjadi rahasia umum, warga penghuni rumah petak di Jakarta nafasnya selalu kembang – kempis mengayuh biduk rumah tangganya dengan UMP sekarang ini, dan selalu mengalami “defisit anggaran” setiap bulannya.
Apakah Program DP Rumah 0% mampu mengangkat derajat mereka (dan saya...hehehe) dengan memiliki rumah di wilayah DKI Jakarta seperti yang dijanjikan?
Dalam pemberitaan di Kompas.com mengenai simulasi skema kepemilikan ini di jabarkan sebagai berikut :
Program DP Rumah 0%
- DP rumah sebesar 15% (sesuai ketentuan Bank Indonesia) ditanggung oleh Pemprov DKI Jakarta.
- Pemegang KTP DKI Jakarta dengan penghasilan maksimal 7 juta rupiah
- Hasil simulasi kompas properti penghasilan minimal yang rasional adalah 9,5 juta rupiah untuk dapat mengikuti program DP 0%.
Pertanyaaan dari saya (bukan mewakili warga DKI Jakarta, karena tidak ada mengangkat saya sebagai wakil warga DKI Jakarta, hehehee....) :
- Pemprov DKI Jakarta menanggung uang muka Rp 52,5 juta per warga yang dibebankan kepada APBD atau dipihak ketigakan ?
- Bila beban ini dipihakketigakan tentunya akan meminta kompensasi balik, siapa yang membayar, apakah warga atau Pemprov DKI Jakarta? (misalnya melalui monopoli pasokan listrik, air dll dengan harga yang ditetapkan oleh penyedia, karena bukan dari penyedia resmi – PLN, PAM – harga lebih mahal seperti di apartemen - apartemen)
- Berapa lama target waktu distribusi kepemilikan rumah bagi warga DKI Jakarta, 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun?
- Berapa target distribusi rumah DP Rumah 0% ini, 1000 rumah per tahun, 2000 per tahun, 1 juta rumah per tahun ?
- Legalitas apakah yang akan dimiliki pemilik rumah, Hak Guna Bangunan, Hak Milik, atau Hak Sewa ?
Sebagai warga kelas bawah saya mensyukuri hadirnya program ini, tapi juga cemas apakah program ini bisa diakses secara penuh oleh warga kelas bawah di DKI Jakarta.
Bukan tidak mungkin tiba-tiba stock rumah habis karena dibeli oleh pemodal besar dengan modus menggunakan banyak KTP. Pemilik KTP diikat perjanjian sewa bulanan / tahunan oleh pemilik modal tersebut. Bila modusnya seperti ini, masyarakat kelas bawah DKI Jakarta hanya pindah lokasi rumah sewa, tanpa ada kepemilikan yang sah secara hukum. Harap – harap cemas menunggu Durian Runtuh ini.
Mode on. Kabar – kabar burung !!
Kemendiknas pernah distribusi Kartu Indonesia Pintar (KIP) dengan men-subkon penyebaran KIP kepada pihak ketiga yang dibekingi oleh salah satu partai baru yang dimiliki oleh seorang raja media. Ternyata penyebaran tidak memenuhi target Presiden Jokowi dan implementasi di lapangan (di sekolah dan penerima KIP) banyak bermasalah. Mungkinkah terjadi lagi ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H