Menurut UU ada dua lembaga pemerintah yang berkait dengan energi minyak nasional, pertama: Kementerian ESDM yang bertugas membuat road map industri energi nasional dengan kebijakan dan pembinaan, kedua adalah SKK Migas, lembaga yang berdiri berdasar Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Fungsi dan tugas kedua lembaga ini jelas berbeda, Kementerian ESDM menitikberatkan kepada kebijakan energi nasional, SKK Migas menitik beratkan pada pengawasan dan pengelolaan kegiatan kontraktor–kontraktor minyak dan gas di sektor hulu.
Kementerian ESDM boleh dikatakan telah berhasil me-reformasi-kan diri ketika Kabinet Kerja dibentuk, Menteri Sudirman Said merangkul profesional dari luar pemerintahan untuk mengaudit anak perusahaan minyak nasional Petral di Singapura. Hasilnya, Petral dibubarkan, meski sampai sekarang kita belum tahu tindak lanjut hukum terhadap dalang dibalik kegiatan yang diduga merugikan negara trilyunan rupiah dengan permainan kuota impor minyak.
Mungkin Presiden Jokowi menyimpannya sebagai “kartu truf” untuk mendepak pihak yang ingin mempersulit kebijakan pemerintah, tampaknya strategi model ini berhasil diarahkan ke petinggi Golkar sehingga Partai Beringin tunduk 100 % dibawa komando Presiden. “Kartu Truf” Petral akan dibuka pada saat yang tepat.
Namun demikian, Sudirman Said tidak steril dari tudingan bahwa dia juga pion dari rezim mafia minyak dan gas yang baru yang ingin menggusur eksistensi pemain lama (siapa pemain baru? ikuti berita-berita di media tentang Blok Masela).
Indikasi ini terbongkar ke muka publik ketiga aktor mafia minyak di era lalu yang terlindungi semasa kabinet SBY terbongkar pembicaraannya dengan Presiden Freeport Indonesia dan Ketua DPRD dari Fraksi Golkar.
Akhirnya kasus ini menguap tanpa bekas, namun kompetisi penguasaan sumber energi nasional masih berlangsung sengit. Rupanya Presiden Jokowi mendampat amunisi baru dari kasus “papa minta saham” berkait dengan kasus kerugian negara akibat permainan kuota impor minyak yang dilaksanakan oleh Petral.
Kericuhan mengemuka soal Blok Masela yang mempunyai kandungan energi alam gas luar biasa, yaitu tentang lokasi pembangunan, apakah di darat atau lepas pantai. Kelompok yang ingin menarik keuntungan dari pembangunan di tengah laut gencar berbicara kerugian pembangunan stasiun itu di darat, kelompok ini yang mendapat kontrak ratusan milyar dari pengapalan material–material dari Freeport. Kelompok kedua menginginkan pembangunan stasiun di darat yang tampaknya cenderung populis, tapi siapa tahu penyokongnya?
Akhirnya Presiden Jokowi memutuskan di darat dengan pertimbangan aspek ekonomi untuk penduduk lokal. Tapi persoalan tidak berhenti di situ, pembangunan Blok Masela ditengarai ada “mark up” besar-besaran, tampaknya Kementerian ESDM tidak kuasa mencegah praktek itu berlangsung dan cenderung berpihak pada kelompok kepentingan besar yang ingin menguasai bisnis–bisnis strategis nasional, seperti Freeport.
Menempatkan Arcandra yang cenderung steril dari kepentingan kelompok ini memang menjadi solusi ampuh mengobrak–abrik rencana yang sudah mereka susun. Tapi apakah langkah ini jitu? Jelas tidak, seperti bisnis pasar, preman lama hilang akan digantikan preman baru dengan gaya barunya.
Peran SKK Migas dalam meningkatkan pemasukan negara di sektor minyak dan gas sangat strategis, lembaga di bawah presiden harus benar-benar bisa mengawasi dan memberikan penalti untuk kontraktor–kontraktor migas yang cenderung nakal melalui permainan "cost recovery” dan target produksi. SKK Migas sebagai kepanjanganan UU harus bisa mengaudit setiap pelaksana kegiatan di sektor hulu minyak dan gas dengan tetap teguh memengang kepentingan negara, bukan sebaliknya.