Baru sekali ini di Indonesia terjadi demo besar-besaran antara pengemudi transportasi pribadi, antara taksi mainstream dengan taksi underground, antara sopir taksi dengan dengan gerilyawan ojekers. Kenapa pengemudi taksi Uber dan Grabm, serta Gojek layak disebut gerilyawan? Mereka maju sebagai penyedia jasa transportasi pribadi bukan dengan dukungan modal besar, yang didukung oleh industri otomotif seperti ASTRA, Hyundai, KIA, dll. Para gerilyawan transportasi ini memiliki modal sendiri, baik itu motor atau mobil, keberadaan mereka dikoordinir secara "remote online" oleh penyedia informasi order. Dengan berbagai paket promo harga yang jatuhnya lebih murah dari taksi mainstream atau ojek yang sudah establish, konsumen berlari menyambut layanan ini.
Sayangnya konsumen juga kurang selektif, para pengemudi dari penyedia online ini dari berbagai kalangan dan latar belakang, sehingga insiden-insiden yang tidak elok, dan tidak memenuhi standar layanan konsumen sering terjadi. Namun, harga, sekali harga yang lebih murah membuat konsumen mudah tergiur. Penyedia taksi mainstream sudah melakukan standarisasi layanan, mempunyai sistim kerja dan kinerja yang sudah baku, sehingga layanan mereka di lapangan seragam, tidak membedakan gender dan latar belakang penyewa jasa mereka. Selain secara hukum mereka terlindungi hak dan kewajiban mereka terhadap perusahaan dan terhadap konsumen, pokoknya semua tekan tombol "on" layanan taksi mainstream sudah jalan, karena mereka punya sistim yang sudah teruji dan baku.
Lalu bagaimana dengan penyedia jasa transportasi online? Apakah mereka sudah mempunyai standar layanan profesi? Ini patut ditelaah lagi agar tidak muncul insiden antara konsumen dan penyedia jasa. Bila menelaah kisruh beberapa hari ini antara taxi mainstream dengan penyedia jasa transportasi online, substansi nya terletak pada masalah "perut". Kehadiran transportasi online mengurangi kue penghasilan pengemudi taksi mainstream.Â
Amarah yang sekian lama dari pengemudi taksi mainstream pun akhir nya meledak, di sisi lain penyedia jasa transportasi online juga merasa berhak untuk mencari penghasilan yang layak dan mengeruk rezeki di sektor transportasi yang memang sangat gurih. Toh negara juga menjamin setiap warga negara untuk berusaha dan berupaya, dan memberi perlindungan bagi pengusaha besar, menengah dan kecil.
Mediasi seperti apa yang layak untuk menjembatani masalah ini, mungkin pemerintah pun belum siap untuk memberikan solusi, terbukti beberapa pernyataan otoritas di bidang transportasi dan pemangku wilayah pun terlihat gamang. Penulis hanya sedikit bisa memberikan solusi, semua stakeholder transportasi bisa diajak berembug, duduk satu bangku untuk bersepakat berdamai dan mencari solusi yang win -win solution. Setelah itu panggil pakar - pakar IT untuk memecahkan kebuntuan ini dengan men -create sebuah sistim transportasi terpadu yang melibatkan semua penyedia jasa transportasi roda dua dan roda empat. Untuk tarif silakan dibicara, dibuat jadwal,Â
dibuat promo bergilir, yang penting disini kualitas layanan konsumen jangan sampai dikorbankan. Jadi tidak perlu di akar rumput sampai gontok-gontokan untuk mengais rejeki, sementara petinggi perusahaan hanya duduk - duduk di ruang AC ruang direksi tanpa bisa memberikan solusi. Disini peran pemerintah sebagai regulator transportasi diharapkan bisa merangkul semua operator di lingkup ini menciptakan sistim order online terpadu untuk semua penyedia jasa transportasi roda dua dan roda empat. Semoga Bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H