Raden Ajeng (RA) Kartini, yang dikenal sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia, memiliki cerita yang mendalam tidak hanya dari perjuangannya dalam memperjuangkan hak-hak perempuan, tetapi juga dari kehidupannya sebagai seorang istri. Potret RA Kartini dan suaminya, R.M.A.A Singgih Djojoadhiningrat, yang diambil sekitar tahun 1903, adalah salah satu saksi bisu dari kisah tersebut.
Latar Belakang RA Kartini
RA Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah, dalam keluarga bangsawan Jawa. Kartini tumbuh dengan pemikiran yang maju, terinspirasi oleh pendidikan yang dia terima sejak dini. Meskipun pendidikan formalnya terhenti ketika ia mencapai usia pernikahan, semangat Kartini untuk belajar tidak pernah pudar. Dia terus belajar secara mandiri dan menjalin korespondensi dengan sahabat-sahabatnya di Belanda, yang membuka matanya terhadap pentingnya pendidikan dan emansipasi wanita.
Pertemuan dengan R.M.A.A Singgih Djojoadhiningrat
Pada tahun 1903, Kartini menikah dengan Raden Mas Adipati Ario Singgih Djojoadhiningrat, seorang Bupati Rembang yang juga mendukung ide-ide progresif istrinya. Meskipun pernikahan ini diatur oleh keluarganya, Kartini akhirnya menemukan pasangan yang menghormati dan mendukung pandangannya. Ini terlihat dalam surat-surat yang ditulis Kartini kepada sahabat-sahabatnya, di mana ia sering menggambarkan suaminya sebagai orang yang pengertian dan berpendidikan.
Potret RA Kartini dan Suaminya: Lebih dari Sekadar Foto
Potret yang diambil sekitar tahun 1903 ini adalah lebih dari sekadar dokumentasi visual. Ini adalah representasi dari persatuan antara dua jiwa yang sama-sama memperjuangkan kemajuan dalam masyarakat feodal Jawa yang kaku. Pada potret tersebut, RA Kartini terlihat anggun dalam pakaian adat Jawa, sementara suaminya, R.M.A.A Singgih Djojoadhiningrat, tampak berwibawa dalam balutan busana tradisional.
Foto ini menggambarkan pasangan yang bersatu tidak hanya dalam ikatan pernikahan, tetapi juga dalam misi yang sama: memperjuangkan pendidikan dan hak-hak wanita di Indonesia. Dalam konteks sejarah, potret ini menjadi simbol dari perubahan sosial yang sedang mulai muncul di Jawa pada awal abad ke-20.
Dampak Sejarah dari RA Kartini dan R.M.A.A Singgih Djojoadhiningrat
Setelah pernikahannya, RA Kartini mendirikan sekolah wanita pertama di Indonesia di Kabupaten Rembang, di mana dia dan suaminya tinggal. Sekolah ini adalah langkah awal dalam perjuangan panjang untuk memberikan akses pendidikan bagi perempuan di Indonesia, yang sebelumnya hanya dianggap sebagai kaum pelengkap dalam masyarakat.
Kehidupan RA Kartini dan perjuangannya akhirnya berakhir tragis ketika ia meninggal dunia pada usia 25 tahun setelah melahirkan anak pertamanya. Namun, warisannya hidup melalui buku yang berisi kumpulan surat-suratnya, "Habis Gelap Terbitlah Terang," yang menjadi inspirasi bagi gerakan emansipasi wanita di Indonesia.
Potret RA Kartini dan suaminya, R.M.A.A Singgih Djojoadhiningrat, pada tahun 1903 adalah lebih dari sekadar gambar historis. Ini adalah simbol dari kolaborasi yang harmonis antara dua individu yang berbagi visi yang sama untuk masa depan yang lebih baik bagi perempuan di Indonesia. Melalui potret ini, kita dapat melihat sekilas kehidupan pribadi RA Kartini yang seringkali tersembunyi di balik perjuangannya yang monumental. Gambar ini juga mengingatkan kita akan pentingnya dukungan dari pasangan dalam mencapai tujuan besar yang dapat mengubah sejarah. (bay)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H