Mohon tunggu...
Sigit Setyawan
Sigit Setyawan Mohon Tunggu... Lainnya - Keterangan Profil

Pembelajar.Pendidik.Penulis. Praktisi pendidikan. Trainer Metode Mengajar.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Dilarang Valentine?

13 Februari 2016   05:01 Diperbarui: 13 Februari 2016   05:23 1184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada dinas pendidikan yang melarang secara resmi perayaan hari Valentine. Ada sekolah yang secara formal melarang siswa merayakan hari valentine. Ada pula infotainmen yang membahas artis yang merayakan atau tidak merayakan hari valentine. Semua itu membuat hari valentine semakin eksis saja. Bahkan, jadi lebih "hot" dibicarakan dan mengundang perhatian anak-anak muda yang tadinya "cuek-cuek aja".

Bahkan, saya yang tadinya ogah nimbrung urusan per-valentin-nan ini pun terpaksa ikut angkat jari, nulis di sini.

[caption caption="Kartun Valentine Day by Koel di Facebook"][/caption]

Dari semua larangan para "orang tua" terhadap "anak muda" itu, terkesan adanya intervensi kuat yang lebih tua terhadap yang lebih muda. Pun ada kesan bahwa para orang tua ini ingin mejaga moral anak muda agar tetap "waras". Mungkin di mata para ortu macam itu, Valentine day tak lebih dari virus cinta-cintaan tak bermutu yang menghabiskan uang jajan. Virus itu membuat anak muda membeli coklat, balon, atau memakai uang mereka untuk makan di kafe mahal bersama sang pacar. Itu semua adalah tindakan tak berkenan.

Dari pelarangan ini pun ada kesan bahwa para orang tua sedang unjuk gigi untuk menunjukkan diri bahwa mereka adalah suri tauladan bagi anak muda. Bahwa di masa muda mereka, mereka jauh lebih romantis tanpa valentine day. Jauh lebih bermoral. Lalu, wahai anak muda, silakan lihat para orang tua yang melarang valentine ini, kehidupan rumah tangga harmonis mereka: ibuk dan bapak di rumah, mesra dan saling mencintai secara tak bersyarat, tanpa perlu merayakan valentine day.

Sementara itu, dari sisi anak muda, tindakan para orang tua ini terkesan kolot, genit, atau kurang dewasa. Kecuali bagi para pemuda-pemudi jomblo, mungkin tindakan para ortu ini telah membela kesedihan mereka karena tak berpacar di hari valentine: untuk sementara waktu. Mengapa sementara waaktu? Karena, toh, saat umur mereka melaju dengan cepat, mereka dikejar-kejar untuk cari jodoh. Lalu, jombloers ini pun akan protes, "Dulu waktu gw masih laku, gw ga boleh pacaran. Kini saat gw kagak laku, gw disuruh kawin ," sambil meratap di hadapan rumput ilalang.

Terlepas dari kegenitan para orangtua, para "valentiners" tentu akan memakai prinsip:  apapun kata orang tua, aku tetap beli coklat dan bunga buat si dia.

 

Mengalihkan "Energi" Remaja

Di usia remaja, semakin dilarang akan semakin kreatif dalam menemukan cara untuk melanggar. Apalagi bicara soal remaja yang tengah dirundung asmara. Laut kuseberangi, gunung kan kudaki. Tidak peduli maki dan caci, tentu para remaja akan cari segala cara untuk bisa menggapai asmara. Apalagi cuman beli coklat sama makan di kafe yang agak mahalan dikit, pasti diusahakan. Untuk anak muda macam begini, dilarang-larang dengan selembar surat tak akan mempan. Dilarang pakai cara kekerasan pun tak akan goyah. Selalu ada tempat untuk bersembunyi.

Energi para remaja ini berlebih dan perlu disalurkan. Agaknya industri coklat, balon, kafe, dan media telah menangkap "energi" ini. Para orang tua pun jadi serba salah menghadapinya. Larangan-larangan anti "valentine day" malah dijadikan amunisi untuk populernya hari valentine. Di sisi lain, jika dibiarkan terus akan membuat anak muda "terlena". Jadi, ujung-ujungnya industrilah yang tetap diuntungkan. Sementara para orang tua yang keki, akan terus mengeluarkan larangan dan larangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun