Musyawarah untuk mufakat adalah ciri khas bangsa Indonesia. Namun, sepertinya musyawarah ini kini hanya berlaku bagi orang desa atau komunitas kecil dalam hidup sehari-hari yang nyata. Musyawarah untuk mufakat sudah mulai ditinggalkan oleh para elit politik kita.
Syarat mutlak untuk dapat bermusyawarah adalah bahwa seseorang harus memiliki nilai "rasa". Ia merasakan kebutuhan orang lain. Ia merasakan kegelisahan dan keinginan orang lain, terutama yang tersisih, terabaikan, dan diam. Misalnya, musyawarah RT, kesepakatan iuran untuk membangun gorong-gorong: orang yang kaya biasanya akan berkata, "Nanti gini saja, pokoknya iuran minimal lima ribu. Bagi yang bisa bayar lebih, silakan," sambil dia mengeluarkan uang satu juta rupiah diam-diam diserahkan kepada bendahara RT. Ia pun berbisik, "Tulis saja NN". Kesepakatan terjadi, tanpa membuat orang miskin dan lemah disingkirkan.
Nilai rasa ini sudah semakin hilang manakala kita menyaksikan akrobat politik di televisi. Semua serba adu kuat dan adu voting. Pokoknya, kalau sudah punya keinginan, tidak peduli orang lain atau kelompok lain, yang penting maunya saya.
Namun, agar tidak menimbulkan protes rakyat, maka penampilan di media televisi dilantunkan dengan santun dan dengan kalimat yang sangat baik. Misalnya, dengan menggunakan kata "demi kepentingan rakyat", "mufakat", "mendengarkan rakyat", dst. Penggunaan frase itu menambahkan pernyataan seolah-olah mereka sedang membawa suara kita. Memang itu sah-sah saja dalam dunia perpolitikan karena politik pada dasarnya sebuah cara untuk memainkan kepentingan. Akan tetapi, kita sebagai pemirsa jangan sampai menelan hal-hal semacam itu begitu saja.
Berbeda dengan debat, musyawarah bukanlah mengenai benar atau salah, tetapi lebih merupakan "tepa selira" atau "ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain". Â Di era baratisasi saat ini, semua dilakukan dengan kaca mata debat dan adu argumentasi. Kita mau tampil keren seperti orang Amerika atau Eropa dengan argumentasi yang langsung, menyerang, dan begitu elegan. Sayangnya, argumentasi yang semestinya lahir dari penalaran, seringkali tidak ada nalarnya. Argumentasi di tivi sering mempertontonkan lahir dari perasaan. Jadi, perdebatan kita bukan perdebatan nalar, melainkan depat perasaan. Ini sungguh aneh.
Maka, saatnya bagi para guru dan orang tua untuk melestarikan tradisi musyawarah ini. Di kelas, para guru perlu mengembangkan metodologi musyawarah sebagai sebuah pembelajaran. Apalagi, di kurikulum 2013 pemerintah meminta kompetensi inti yang intinya adalah menghargai orang lain dan agar kita lebih mengedepankam moralitas dan keagamaan. Menentukan ketua kelas jangan voting, tetapi dengan menanyakan baik-baik apa anak-anak yang pendiam itu setuju. Menentukan iuran kelas, sebaiknya memikirkan mereka yang tidak mampu.
Di keluarga, jangan pula asal voting. Perlu meminta pendapat si kecil atau si pendiam di rumah. Dengarkan mereka, lalu buat keputusan. Ayah harus mau berkorban tidak makan sayur sekali saja, demi si anak makan junk food sekali-sekali.
Di DPR atau MPR... saya tidak akan memberikan saran apapun untuk ini, karena saya bukan pengamat politik. Saya hanya berharap, mereka mendidik anak-anak dan cucu-cucu mereka yang menonton di televisi bagaimana mereka pun mewariskan tradisi musyawarah yang telah dengan sengaja dimatikan itu. Kalau bukan kita yang melestarikan musyawarah siapa lagi. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H