Dalam perjanjian saat akad, tidak ada sedikitpun menyingung tentang kerja sama dengan pihak lain dalam hal pekerjaan, seperti pembuatan sumur bor, pembuatan septic tank serta hal yang berhubungan dengan renovasi rumah yang dilakukan agar lebih layak huni. Ini bukan rahasia umum lagi, karena itu dibutuhkan ketegasan pengembang untuk menolak segala macam bentuk permintaan yang akan membuat para pembeli merasa terbebani.
Masalah di atas mungkin kelihatanya sepele, namun siapa sangka, hal itulah yang ternyata paling memberatkan masyarakat saat akan menempati rumah barunya. Coba bayangkan saja, untuk membuat sebuah sumur bor, kita harus menyiapkan dana 3.5 juta. Kalau mahal pasti bagus, belum tentu juga, mereka mematok harga mahal dengan harga material semurah mungkin.
Lalu, untuk merenovasi septi tank, yang sebenarnya membuat baru, karena bawaan perumahan hanya bisa untuk menampung kotoran manusia beberapa bulan saja. Kita harus mengeluarkan kocek 3.5 juta hanya untuk ukuran standar, itupun jika tak diawasi mereka akan asal mengerjakanya.
Saya coba rangkum biaya yang akan kita keluarkan jika kita hendak menempati perumahan baru.
- Biaya pembuatan sumur bor
- pembuatan septic tank
- Keamanan
- Melakukan renovasi dll
Jika ditotal, kita harus mempersiapkan dana tak kurang dari 7 sampai 8 juta rupiah hanya untuk menempati rumah yang sudah kita beli dengan sah. Jadi wajar, jika rumah subsidi tidak lekas dihuni oleh pemiliknya. Biaya untuk menempati rumah baru, dengan biaya pembelian rumah, seperti booking fee, uang muka, sampai biaya administrasi nilainya hampir sama. Jelas hal ini sangat memberatkan masyarakat.
Kembali lagi, siapa yang berhak membeli rumah yang disubsidi oleh pemerintah. Sudah jelas berpenghasilan rendah, masih juga harus dibebani dengan biaya yang tidak masuk di akal. Jika pemerintah ingin masyarakat segera menempati rumah yang sudah mereka beli, berantas dulu oknum-oknum yang membuat masyarakat resah.
Mereka berlindung dalam wadah organisasi sosial, membuat aturan sendiri, "tidak diperbolehkan menghuni rumah jika tidak dibuat dulu septic tank, dan sumur bor oleh mereka." Tak segan mereka mengancam, jika mempekerjakan tukang dari luar untuk membuat pekerjaan tsb. Harga mencekik, serta tidak masuk akal jika dibandingkan harga pasaran di luar perumahan.
Jika niat mereka membantu, tentu tidak akan mematok harga yang begitu mahal. Belum lagi pekerjaan mereka yang asal jadi, akhirnya membuat masyarakat tidak percaya juga cenderung takut berurusan dengan mereka. Jika sudah begitu, masyarakat yang ingin menempati rumah yang sudah dibeli hanya bisa pasrah, berhutang pun mereka lakukan untuk memenuhi biaya pembuatan 2 pekerjaan di atas.
Saya pernah merasakan sendiri, bagaimana harus bernegosisi sampai membuat surat perjanjian dengan para oknum-oknum tersebut, yang mengklaim sudah melakukan kerjasama dengan pengembang, tapi ketika saya minta surat perjanjian, mereka tidak bisa memperlihatkanya. Ancaman dan intimidasi mereka lancarkan hampir setiap waktu. Siapa yang kuat dia yang menang, dalam hal ini tetap kita yang kalah.Â
Sekali lagi, niat pemerintah sudah benar, jika perumahan tidak segera dihuni, maka akan diambil alih atau dirubah skema subsidi menjadi komersil. Pihak yang terkait kiranya perlu sekali lagi mengkaji, apakah permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat sebagai pembeli rumah bersubsidi sudah diatasi dengan baik. Mungkin ini masalah sepele, namun Jika tidak segera di atasi, mustahil mereka mau pindah atau menempati rumah yang sudah mereka beli.