Bagi seorang pekerja, sebuah posisi dengan gaji tinggi adalah hal yang selalu diimpikan. Maka tak salah jika banyak orang bersekolah tinggi selain untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, berharap mendapatkan pekerjaan yang layak dan sejahtera untuk hidupnya.
Tidak menampik memang, banyak yang melanjutkan sekolah hanya demi selembar kertas, bisa digunakan untuk kenaikan pangkat atau karier yang cermelang di tempat kerjanya. Itulah realitas yang terjadi, baik di lingkungan pemerintahan ataupun perusahaan.
Ketika seorang karyawan diterima pada sebuah perusahaan, ia akan merasa nyaman karena merasa semua kebutuhan telah terpenuhi. Namun, ketika beban pekerjaan ditambah seolah tak mau menerima kenyataan tersebut. Perlu diingat kembali, itulah alasan Anda digaji besar oleh perusahaan.
Dari sinilah masalah mulai datang, kata 'nyaman' seolah sirna oleh banyaknya pekerjaan. Pada akhirnya seorang pekerja akan menemui titik jenuh, semua pekerjaan seolah berat dan sulit untuk diselesaikan. Kondisi seperti inilah tidak memungkinkan seorang karyawan bisa bekerja secara maksimal.
Ya, kondisi seperti itu sudah dianggap berbahaya bagi seorang karyawan. Ketika over job, bantuan tak kunjung datang. Dari sini akan mulai timbul keinginan kuat untuk segera keluar dari tempat kerja. Padahal, jika Anda keluar dari sebuah perusahaan, berapapun tingginya posisi Anda di tempat yang baru, tetap saja harus memulai lagi dari nol besar.
Sedikit membagi pengalaman teman kerja saya, yang baru-baru ini resign dari perusahaannya. Mengisi posisi cukup penting di struktur perusahaan, dengan gaji yang lumayan tinggi.
Kondisi perusahaan yang tergolong baru membuat beberapa posisi harus diambil alih, agar roda perusahaan dapat berjalan normal. Jika mengambil alih sebuah pekerjaan, kemudian mem-backup untuk sementara waktu tidaklah menjadi masalah saya pikir. Namun, apa jadinya jika keterusan?
Banyaknya pekerjaan abnormal membuat pekerjaan utama jadi terkendala. Semua pekerjaan penting karena memang saling berhubungan. Yang terjadi, teman kerja saya terpaksa harus menambah jam kerja setiap harinya. Awalnya dua kali dalam seminggu, dan bertambah terus setiap bulannya. Tahun berganti, perubahan tak kunjung datang.
Diskusi bersama atasan serta manajemen sudah dilakukan, namun ditanggapi dengan sepele karena merasa belum perlu menambah karyawan baru. Tak jarang pekerjaan sampai harus dibawa pulang. Hari Sabtu yang seharusnya digunakan untuk istirahat juga habis untuk menyelesaikan pekerjaan.
Jujur diakuinya, me-manage pekerjaan menggunakan berbagai cara sudah dikerjakan, namun toh tetap tidak berhasil karena beban kerja yang terus-menerus datang. Satu belum selesai, sudah antri panjang di belakangnya. Satu hari tak disentuh, alamat penuh meja kerja dengan seabrek dokumen.
Oleh karena itu, tak jarang emosi teman kerja saya sering tak terkontrol. Malah pernah suatu waktu cekcok dengan atasan karena mengubah jadwal meeting (persentasi) tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Bukan membenarkan, menurut saya wajar hal itu terjadi. Mungkin benar istilah yang menyatakan bos tidak pernah salah?
Melihat banyaknya kejadian karyawan yang resign dan di juluki 'si kutu loncat' membuat saya harus berpikir keras. Dalam hal ini saya belum bisa mengatakan teman kerja saya benar, atau perusahaanlah yang kurang memahami persoalan.
Sering sekali membaca curhat sahabat di medsos, 'Senang karena sudah resign dengan alasan didzolimi oleh perusahaan'. masih banyak lagi keluhan-keluhan yang disampaikannya. Kira-kira apa saja sih yang membaut seorang tidak betah dan harus konyol resign dari tempat kerjanya.
1. Work overload yang tidak segera diatasi oleh perusahaan
Tingginya beban kerja yang diberikan oleh perusahaan, secara tidak langsung akan berpengaruh pada etos kerja seorang karyawan. Posisi yang wah, gaji besar serta diikuti oleh beban kerja yang tinggi, ternyata banyak yang tidak siap. Perusahaan menganggap itu wajar dan berbanding lurus dengan gaji yang diterima.
Menurunnya kinerja karyawan bukan hanya disebabkan oleh gagalnya kita dalam me-manage pekerjaan, namun juga karena beban kerja yang melampaui kemampuan diri pribadi. Pelan tapi pasti, jika dibiarkan terus-menerus, siap-siap karyawan terbaik sekalipun akan mundur secara perlahan.
2. Tidak adanya jenjang karier yang jelas
Banyak perusahaan yang sudah membuat rumusan jenjang karier yang jelas, tapi ada juga yang hanya menjelaskan soal tersebut sambil melihat situasi serta cenderung hanya memberikan harapan palsu. Kita kerja dengan sungguh-sungguh, tapi jika jenjang karier tidak jelas, tentu ini hanya akan membuat masa depan karyawan terombang-ambing dan menghabiskan waktu saja.
Banyaknya pemikiran abu-abu, seperti 'kerja saja yang bener' nanti juga karier akan mengikuti. Pemikiran seperti ini menurut saya sah-sah saja, namun perlu diingat tidak semua orang di perusahaan melihat parameter kerja seseorang sebagai dasar evaluasi seorang karyawan. Jangan terbuai dengan janji manis atasan. Jenjang karier harus dibuat jelas agar kita tidak salah jalan. Kira-kira begitu maksudnya.
3. Pekerjaan dan profesi tidak sesuai dengan passion/minat
Bukan hanya sedikit tapi banyak, di mana pekerjaan yang sekarang digeluti tidak sesuai passion. Kendati demikian, toh banyak orang sukses walaupun pekerjaannya tidak ada hubunganya dengan jurusan yang diambil semasa kuliah.
Biasanya orang yang kerja harus sesuai minat dan keterampilannya tipe idealisnya tinggi. Bekerja sesuai passion akan membuat kita lebih profesional serta mampu mengembangkan potensi lebih baik. Pernyataan tersebut tidak salah. Yang jadi masalah adalah kebutuhan kita terhadap pekerjaan.
Susahnya mencari pekerjaan yang sesuai dengan passion membuat banyak orang harus rela dan mau apa pun pekerjaannya. Toh sesuatu yang dicintai akan membuat kita lama-kelamaan jadi terbiasa.
4. Merasa tidak nyaman dengan lingkungan kerja atau terjadi konflik dalam lingkungan kerja
Nyaman dalam bekerja adalah sesuatu yang bayak diincar saat ini. Hasil pengamatan saya selama bekerja, gaji tinggi ternyata tak diikuti dengan kondisi kerja yang nyaman. Gaji tinggi serta pressure yang gila-gilaan membuat banyak karyawan menjadi stres.
Akhirnya mencari tempat kerja yang gajinya sedang tapi nyaman dalam bekerja. Pernah senior saya minta turun posisi dari staff menjadi operator di lapangan karena tak tahan dengan beban kerja. Nah Loh!
Kalau soal konflik memang masih ada terjadi, tapi nggak sampai membuat karyawan resign. Jika konflik karyawan dengan karyawan masih banyak, persoalan yang sering timbul antara senior dan junior. Yang senior merasa paling tahu juga tak kalah yang junior merasa sudah banyak pengalaman.
Ketimpangan pendidikan juga salah satu sebabnya. Contoh senior mempunyai pendidikan rendah, kemudian yang junior karena merasa punya pendidikan tinggi jadi tidak mau diatur soal pekerjaan. Ya begitulah masalah kecil yang masih banyak ditemukan di perusahaan.
5. Konflik antara atasan-bawahan, sedikitnya pengakuan atau dukungan dari atasan-bawahan
Pernah konflik sama atasan? Kalau jawabannya iya, artinya Anda tidak sendiri. Saya kurang berminat membahas soal yang satu ini karena kita akan sangat membuang energi kalau sampai ada masalah dengan atasan. Betul apa benar, eh jawab sendiri aja.
Bagaimana kuatnya kita berargumen dan didukung data, tetap saja kita akan salah jika tidak mau mengikuti apa yang diinginkan atasan. Bukan mengeneralisasi juga, tapi banyak tipe atasan yang seperti itu.
Tidak mau mengakui kekurangan, tapi bawahan juga harus mengikuti perintah atasan. Salah ditegur itu wajar, dan jadikan itu sebagai bahan introspeksi agar kita bisa lebih baik lagi. Biasanya kalau kita tidak mau mengalah, ya sudah daripada mangkel, lebih baik cari pekerjaan yang atasannya lebih bisa menghargai pekerjaan kita.
Tidak sedikit model atasan yang hanya bisa komplain terhadap pekerjaan, namun tak pernah memberi masukan untuk perbaikannya. Kalau sudah begini ya serbasalah, tinggal kuat-kuatan, nunggu atasan dirotasi oleh perusahaan atau kita yang nyerah.
Kalau kita merasa benar lebih baik pertahankan argumen kita, bekerja lebih baik lagi agar atasan sadar dan mau menghargai hasil pekerjaan kita.
6. Kompensasi/gaji yang diberikan terlalu kecil atau tidak sesuai dengan beban kerja
Banyak karyawan yang terjebak karena kebutuhan, yang penting kerja. Malah yang lagi tren di kalangan pekerja, sebisa mungkin masuk dulu di perusahaan yang namanya sudah besar, toh nanti gaji akan menyesuaikan dengan sendirinya. Malah sudah saya jelaskan di atas, bahwa gaji tinggi tidak menjamin karyawan betah.
Jadi, jangan pernah berpikir akan ada perusahaan yang menerima kita dengan gaji tinggi namun pekerjaanya santai-santai. Ya kalaupun ada, Anda termasuk orang yang beruntung, tapi siap-siap dicap makan gaji buta oleh orang lain. Serbasalah ya...
Untuk itu, tunjukan kemampuan yang kita miliki. Mungkin sekarang gaji kita kecil, ketika Anda memiliki etos kerja dan skill yang mumpuni, percayalah Anda akan di buru oleh para owner untuk bergabung di perusahaannya.
Waktu berjalan sangat lambat ketika pekerjaan tidak berjalan dengan semestinya. Itulah yang dirasakan rekan kerja saya. Nyaris hampir 3 tahun lamanya, ia harus lembur dengan gaji tetap setiap bulannya. Apa ini yang dinamakan loyalitas?
Bagaimana cara pandang perusahaan melihat kondisi semacam ini? Tidak seharusnya membebankan suatu pekerjaan seterusnya. Jika dirasa perlu penambahan karyawan, ya lakukan evaluasi kembali. Ketika Anda diminta untuk melakukan backup suatu pekerjaan, tanyalah sejelas mungkin sampai kapan harus menangani pekerjaan tersebut.
Wajar jika akhirnya rekan kerja saya tersebut memutuskan untuk mengundurkan diri. Semua hal sudah dilakukan untuk perusahaan. Loyalitas yang dilakukan agar perusahaan sadar ternyata hanya sia-sia belaka.
Di luar dari alasan di atas, mungkin ada faktor lain yang menyebabkan karyawan mengajukan pengunduran diri. Ini harus dijadikan bahan perbaikan oleh perusahaan atau atasan yang mungkin kurang peka dalam menangkap permasalahan yang sering terjadi pada karyawannya.
Bekasi, 20170618
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H