Pada faktanya, perilaku perfeksionis kerap berlaku dalam dinamika kerja. Apa-apa kepingin sempurna, maunya sempurna sesuai keinginan sendiri tanpa mempertimbangkan banyak hal.
Padahal semuanya butuh proses dan progres, butuh pertimbangan matang dalam berbagai hal sebelum mencapai tujuan dan hasil yang diinginkan.
Ya, perfeksionis itu adalah sebutan bagi mereka yang menginginkan standar tinggi dan kesempurnaan dari diri terkait bidang pekerjaannya, hasil kerja, atau tentang orang lain dan diri sendiri.
Dalam perfeksionis ini, setiap orang pasti akan mengerahkan seluruh kemampuannya secara optimal untuk bisa berhasil dan menghasilkan sesuatu yang terbaik dan sempurna.Â
Namun sayangnya, sifat tersebut bisa berdampak negatif apabila didorong oleh ketakutan akan kegagalan, maka yang terjadi adalah konflik, baik konflik pada diri sendiri maupun dengan orang lain atau team work.
Pada umumnya ciri-ciri yang melatarbelakanginya diantaranya seperti memiliki standar yang sangat tinggi soal hasil kerja misalnya, sulit menerima saran dan masukan misalnya, anti kritik, dan selalu membutuhkan pengakuan.
Sebenarnya sih, perfeksionis itu awalnya bertujuan baik, yaitu ingin memberikan hasil yang optimal dan maksimal dalam hal pekerjaan.
Namun sayangnya mindset selalu ingin sempurna tadilah yang mengubahnya, sehingga berdampak pada terhambatnya proses untuk bertumbuh kembang, bahkan jadi takut mencoba hal baru karena maunya menunggu sampai sempurna dan selalu dibayangi kegagalan, padahal itu hanyalah soal mentality belaka.
Perfeksionis tentu akan berdampak pula secara team work, baik itu unsur staf maupun unsur atasan. Hal ini karena, masing-masing akan mengedepankan ego.
Perfeksionis akan membuyarkan chemistry dalam membangun kerjasama, sehingga build up yang ada hanya mengedepankan kepentingan individualistis.
Lantas setelah tahu dampak negatif dari perilaku perfeksionis ini, maka solusinya bagaimana?Â
Daripada perfeksionis dalam dinamika kerja lebih baik progresionis, yaitu bagaimana kesemuanya dalam mencapai hasil itu butuh progres sebagai perubahan arah kemajuan.
Perubahan yang progresif sebagai perubahan yang mengarah pada keadaan yang lebih baik, apalagi bagi unsur atasan, maka ini bisa menjadi tempaan dalam menerapkan kepemimpinan progresif, sebagai kepemimpinan yang sadar dan responsif terhadap kebutuhan mendasar.
Yang perlu diketahui juga adalah progres sangat berbeda dengan proses, kalau proses itu adalah suatu langkah atau tindakan yang diambil untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Proses digunakan dalam berbagai konteks dan dapat merujuk pada tindakan fisik.
Sedangkan Progres itu tidak hanya fokus pada tujuan dan kesempurnaan belaka tapi dijalani atau dilaksanakan saat itu sembari disempurnakan dan dijalani setapak demi setapak kemajuannya.
Nah, kalau sudah mengedepankan progres dari pada perfeksionis begini, maka yang namanya ego dan individualistis pasti dapat dikesampingkan, serta menyadari bahwa perfeksionis itu tidak efektif dalam team work.
Jadi daripada diri tenggelam untuk perfeksionis dalam dinamika kerja yang pastinya akan berdampak negatif dalam team work, maka lebih baik progresionis saja sembari dilaksanakan sembari itu pula untuk disempurnakan.
Jadi bagaimana?
Mau tetap perfeksionis dalam dinamika kerja atau mau progresionis?
Demikian kiranya artikel singkat ini, semoga dapat bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H