Kawasan perkotaan (kota besar) akan selalu menjadi magnet atau daya tarik bagi masyarakat dari berbagai daerah utamanya desa dan kampung untuk datang ke kota dengan berbagai latar belakang alasannya masing-masing. Termasuk juga dengan latar belakang pendidikan dan keterampilan masing-masing.
Ada yang hanya lulusan SD/sederajat, lulusan SMP/Sederajat, lulusan SMA/Sederajat, lulusan Universitas, atau bahkan ada yang enggak punya ijazah pendidikan sama sekali.
Visi dan misi kedatangan mereka ada yang mau cari kerja, ada yang mau buka usaha, dan ada yang sekadar cuma coba-coba saja datang ke kawasan perkotaan.
Ada yang datang ke kawasan kota karena ikut dengan saudara dan ada yang datang karena motif sendiri, serta latar belakang alasan lainnya dengan gambaran ekspektasi mereka masing-masing.
Mereka ada yang punya setidaknya sedikit bekal keterampilan dan ada yang tidak punya keterampilan, ada yang bawa modal/sangu finansial (sejumlah uang) dan ada yang datang cuma modal nekat dengan alasan yang penting datang saja dulu ke kota, masalah bagaimana nantinya dipikir belakang.
Begitulah kurang lebihnya mereka para pendatang dan terkait apa yang menjadi latar belakang alasan, kenapa mereka ini ingin datang ke kota dengan gambaran ekspektasi mereka masing-masing.
Yang jadi masalah itu adalah, ketika para pendatang ini justru jadi masalah baru diperkotaan yaitu ketika banyak diantara mereka yang jadi "beban hidup" kawasan perkotaan.
Ketika banyak diantara mereka para pendatang yang malah turut menambah lonjakan angka pengangguran, banyak diantara mereka para pendatang malah ikut menyumbangkan meningkatnya prosentase angka kemiskinan penduduk kawasan perkotaan.
Bahkan tidak sedikit dari mereka yang turut menyumbangkan melonjaknya prosentase tindak kejahatan/kriminal kawasan perkotaan.
Banyak diantara para pendatang yang gagal survive karena tergiur dan terjebak dengan bayang-bayang ekspektasi pikir mereka masing-masing tanpa mempertimbangkan dengan matang terkait bagaimananya untuk bisa survive di kawasan perkotaan.
Nah, berkaca dari apa yang sudah penulis jabarkan sampai di sini, maka sebagai saran agar para pendatang tidak menjadi "beban hidup" ataupun masalah sosial bagi perkotaaan dan bisa survive atau bisa bertahan hidup di perkotaaan, sebaiknya beberapa hal ini dapat menjadi pertimbangan.
1. Pertimbangkan dengan matang sebelum mengambil keputusan datang mengadu nasib ke kota.
Memang, tidak ada larangan untuk datang ke kawasan perkotaan dalam rangka mengadu nasib ini, tapi tidak ada salahnya untuk dipikir benar-benar dengan masak.
Yakinkah di kota bisa survive, yakinkah bisa beradaptasi dengan kehidupan kawasan kota. Yakinkah sudah memiliki "bekal diri" yang cukup untuk survive di kawasan perkotaan.
Oleh karenanya dalam hal ini, agar dapatnya dipertimbangkan dengan matang terkait risiko-risikonya juga, jangan hanya mendengar cerita sukses orang lain, lalu tergiur.
Jangan juga berekspektasi terlalu tinggi tentang gambaran kerberhasilan dalam benak pikiran terkait kesuksesan hidup dikawasan perkotaan.
Dengan pertimbangan matang begini, setidaknya dalam mengambil keputusan tidak sembrono ada persiapan sebelumnya, setidaknya juga kalau memang menganbil keputusan hijrah ke kota ada persiapan yang dimatangkan terkait "bekal diri" ke depan.
Keluarga, tetangga, yang memang sudah tinggal di kawasan perkotaan juga perlu memberikan wawasan yang baik sesuai fakta yang sebenarnya, jangan juga memberi iming-iming tapi faktanya tidak benar.
2. "Bekal diri" yang cukup.
Ya, kalau memang memutuskan hendak hijrah kekawasan perkotaan untuk mengadu nasib, maka bekal diri yang cukup wajib dipersiapkan dan dimatangkan.
Ya, bekal diri yang cukup ini maksudnya adalah bekal finansial, bekal wawasan latar belakang pendidikan, dan bekal keterampilan. Jangan datang ke kota kalau cuman "modal dengkul" ataupun modal nekat.
Di kota saja orang dengan bekal pendidikan lulusan S1 banyak yang menganggur, apalagi yang cuman lulusan SD atau enggak ada ijazah sama sekali, jelas yang begini kedepan akan jadi beban.
Orang yang punya bekal pengalaman kerja dan keterampilan pun harus bersaing dapat pekerjaan, apalagi yang enggak punya pengalaman dan keterampilan, jelas kedepan akan jadi beban.
Oleh karenanya, bekal diri yang cukup ini penting dipersiapkan dengan matang, setidaknya kalau punya bekal finansial ada kesempatan untuk survive atau peluang bertahan sambil berencana membuka usaha apa ke depannya, setidaknya juga kalau punya bekal pendidikan memadai dan punya bekal keterampilan yang layak, maka ada kesempatan survive dalam bersaing dengan yang lainnya.
3. Jangan paksakan bertahan hidup di kota kalau memang gagal survive.
Ya, yang kerap terjadi pada pendatang adalah, sudah tahu faktanya bahwa mereka gagal survive di kawasan perkotaan, tapi tetap nekat bertahan.Â
Sehingga apa, ya inilah yang akhirnya menjadi masalah pelik bagi kota, yaitu pendatang justru jadi "beban hidup". Inilah yang akhirnya kerap menimbulkan masalah sosial.
Masalah sosial itu seperti, banyaknya pengangguran, banyaknya gelandangan, banyaknya pengemis, dan banyaknya kasus kriminal. Sehingga inilah yang akhirnya membuat lonjakan prosentase angka kemiskinan dan kriminal dikawasan perkotaan.
Sebaiknya, kalau memang gagal bertahan di kota ya lebih baik kembali ke tempat asal saja, jangan malu juga kembali ketempat asal karena gagal di kota, daripada jadi beban hidup dan masalah, serta sulit hidup di kota, lebih baik legowo pulang ke daerah asal, dan justru ini yang malah lebih terhormat. Siapa tahu juga malah ditempat asal lah kesuksesan dapat dicapai.
-----
Nah, inilah kiranya yang bisa penulis sarankan melalui artikel ini, semoga saja bisa menjadi wawasan dan manfaat bagi bersama.
Artikel ke 103 tahun 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H