Sudah sering menaikan gaji, bahkan insentif tambahan atau bonus pun sering pula diberikan, tapi kok karyawan (Gen Z) maupun freshgrads masih gampang banget resign dari kantor?Â
Semestinya kalau normalnya bukan begitu toh, seharusnya mereka betah bekerja, dan harapannya juga mereka lebih loyal dan totalitas dalam bekerja. Namun yang sering jadi kenyataannya tidaklah sesuai yang diharapkan, kok tetap saja karyawan sering gampang resign.
Kok enggak ngefek ya, padahal sudah dikasih naik gaji, sudah sering dikasih insentif tambahan, dan bonus, kok bisa sih, kok para karyawan masih enggak betah di kantor? Begitulah yang kerap jadi pertanyaan manajemen suatu kantor dan para user.
Ya, terkadang apa yang menjadi tolok ukur ataupun parameter betah dan tidaknya ataupun nyaman dan tidaknya karyawan bekerja di suatu kantor itu bukanlah melulu soal materil seperti kenaikan besaran gaji, pemberian insentif ataupun bonus.
Tapi bersangkutan juga dengan kesejahteraan moril, sehingga antara kesejahteraan moril dan materil ini semestinya harus terukur.Â
Bahkan sebenarnya, tanpa perlu sering-sering memberikan kenaikan besaran gaji, pemberian insentif tambahan ataupun bonus, karyawan bisa saja sih tetap betah bekerja di kantor dan bekerja dengan penuh loyalitas dan integritas asalkan kesejahteraan morilnya lebih diperhatikan.
Bagaimana caranya? Apa bisa tanpa tanpa naik gaji, dikasih insentif tambahan, dan bonus, tapi para karyawan dapat betah bekerja di kantor? Kesejahteraan moril apa yang mesti lebih diperhatikan?
Nah, berkaitan dengan itu, penulis ingin memberikan referensi bagaimana sih cara yang kira-kira bisa diterapkan meski tanpa naik gaji, insentif tambahan dan bonus tapi karyawan tetap betah dan nyaman bekerja di kantor atau enggak gampang resign dari kantor.
1. Jobdesc yang jelas dan tepat, serta rotasi jobdesc secara berkala.
Kesalahan paling sering suatu kantor adalah kurang tepat dalam menempatkan karyawan pada jobdesc dan kurang cermat melihat dimana potensi atau bakat karyawan.
Suatu kantor seringkali hanya asal menempatkan karyawan alias "asal taruh orang" atau asal isi  tanpa mempertimbangkan potensi dan bakatnya.
Inilah yang seringkali membuat karyawan jadi aras-arasan kerja karena jobdesc mereka melenceng terlalu jauh dari kompetensi yang mereka miliki, bahkan jadi jenuh karena mereka stuck disatu jobdesc tanpa pernah dirotasi jobdesc-nya.
Oleh karenanya, agar dapatnya dalam memberi jobdesc ini, kantor harus cermat melihat bagaimana potensi dan bakat dari para karyawan ini, sehingga tepat sasaran dalam menempatkan mereka.
Jangan sampai terlupa juga menerapkan rotasi jobdesc, agar setiap karyawan punya kesempatan yang sama dalam organisasi, mendapatkan kesempatan yang sama dalam menempa pengalaman, dan refresh.
2. Training dan coaching yang memadai dan kolaboratif serta berkala.
Kerap juga setelah menempatkan karyawan dalam jobdesc mereka masing-masing, tapi tidak dibekali dengan training dan coaching (pelatihan dan mentoring) yang memadai dan kolaboratif, terkesan apa adanya, sehingga mereka jadi kurang begitu paham dengan jobdesc-nya.
Padahal, pelatihan dan mentoring yang memadai dan kolaboratif dalam rangka menyiapkan mereka bekerja dalam jobdesc-nya itu penting banget untuk pengetahuan mereka, termasuk menggembleng mental mereka.Â
Oleh karenanya, agar dapatnya sebelum ditempatkan pada jobdesc-nya, karyawan benar-benar dibekali pelatihan dan mentoring yang memadai dan kolaboratif, sehingga mereka siap terjun di lapangan.
Serta jangan pula pelit mendidik karyawan atau menyekolahkan karyawan melalui diklat-diklat, baik itu diklat internal ataupun eksternal, kan kalau karyawan semakin terlatih dan terdidik, kantor pun ikut bagus.
3. Leadership yang demokratis (tidak 0tokratis dan terlalu micro-manage).
Penyakit kronis dalam suatu kantor itu adalah, banyaknya user atau atasan yang dalam menerapkan leadership-nya terlalu otokratis dan micro-manage.
Atau dalam artian di sini, mentang-mentang berkuasa punya jabatan jadi bossy banget, bahkan terlalu mengurusi hal-hal yang kecil-kecil yang semestinya dalam tingkatan karyawan saja selesai urusan tapi bos ikut juga ngurusin.
Jadi, agar kiranya leadership yang demokratislah yang semestinya diterapkan dan lebih mengedepankan kolaboratif bukan karena punya kuasa karena jabatan.
4. Di-backup oleh masing-masing team leader ketika berbuat salah.
Paling sering terjadi juga adalah ketika bawahan berbuat salah tapi seringnya malah semakin dipojokan dan diberi punishment yang enggak obyektif oleh atasan.
Atau maksudnya di sini adalah si atasan cari selamat sendiri, tidak ingin kena marah atasannya juga akibat kesalahan bawahannya tersebut, padahal semestinya team leader yang baik ya harus berani pasang badan atas kesalahan bawahannya tersebut.Â
5. Diapresiasi ketika punya prestasi.
Ya, karyawan itu perlu diapresiasi ketika berprestasi, jangan hanya biasa-biasa saja dan datar-datar saja ketika karyawan berprestasi, tentu saja karyawan akan kecewa, padahal sudah berbuat yang terbaik buat teamwork dan organisasi tapi diapresiasipun tidak, jadi ya apresiasilah mereka ketika berprestasi.
6. Jenjang karier jelas dan transparan.
Inilah juga yang perlu diperhatikan, karier harus jelas roadmap-nya, jangan samar-samar, sebab kesannya jadi enggak jelas, jangan lama-lama kalau mendudukan posisi karyawan dalam jobdesc-nya, kalau memang sudah waktunya promosi jabatan dan memang sudah eligibel ya segera di promosikan.
7. Terpeliharanya working environment.
Ya, kantor tentunya sangat bertanggung jawab dalam menciptakan iklim kantor yang kondusif dan lingkungan kerja yang bersahabat kepada karyawan.
Sehingga ketika kantor iklimnya dirasa mulai enggak kondusif dan lingkungan kantor mulai toxic, maka harus segera dinormalisasi, dan dicari solusinya agar iklim dan lingkungan kantor sehat dan bersahabat.
-----
Nah, kalau tujuh hal yang penulis referensikan ini bisa diterapkan disuatu kantor, karyawan akan merasa sangat dihargai dan diapresiasi serta dimanusiakan, yang tentunya akan menumbuhkan semangat, loyalitas dan totalitas karyawan dalam bekerja.
Buat apa naikan gaji, kasih tambahan insentif dan bonus, tapi kesejahteraaan moril karyawan enggak diperhatikan, ya tentu saja karyawan akan mikir-mikir juga lah kalau kesejahteraan morilnya terabaikan.
Jadi, karyawan (Gen Z) betah bekerja tanpa naik gaji, bisakah? Jawabannya adalah bisa, asalkan kesejahteraan moril mereka jangan diabaikan.
Demikian artikel ini, semoga bermanfaat.
Artikel ke-54, tahun 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H