Mohon tunggu...
Sigit Eka Pribadi
Sigit Eka Pribadi Mohon Tunggu... Administrasi - #Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#

#Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#Menulis sesuai suara hati#Kebebasan berpendapat dijamin Konstitusi#

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Kamu Quiet Quitting, Kantor Quiet Firing, Bagaimana Baiknya?

22 September 2022   15:56 Diperbarui: 23 September 2022   10:26 1519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
bekerja di kantor | Dokumen Foto Via Freepik.com

Ternyata ada bermacam-macam pemaknaan tentang quiet quitting ini. Pada generasi milenial dan para generasi Z atau para Zilenial misalnya, quiet quitting banyak dimaknai sebagi perilaku berhenti diam-diam.

Latar belakang alasan untuk berperilaku quiet quitting pada umumnya karena kantor enggak care dengan karyawan, seperti di antaranya;

Soal perkembangan karier, apresiasi kinerja, hingga soal besaran penghasilan, insentif, lembur, jam kerja, culture hustle, kultur kantor, aturan dan SOP kantor dan lain sebagainya yang kaitannya dengan kesejahteraan karyawan dan pekerjaan.

Sementara itu, pemaknaan quiet quitting ini ada juga ternyata yang mendeklarasikannya sebagai hal yang positif untuk lebih profesional dalam bekerja, untuk lebih punya waktu luang, untuk worklife balance, dan sebagainya.

Ya tentu boleh saja kalau dimaknai seperti ini. Tapi secara simultan kedepan justru nanti akan terlihat pada akhirnya quiet quitting ini akan berujung juga pada demotivasi kerja.

Nah, ternyata juga dengan semakin menjamurnya perilaku quiet quitting dikalangan pekerja ini kekinian, pihak kantor tak mau kalah untuk mengambil sikap.

Ya, pada akhirnya banyak juga kantor yang justru membalas perilaku quiet quitting dikalangan pekerja ini dengan memberlakukan quiet firing atau memberhentikan karyawan secara diam-diam.

Kantor sengaja enggak care dengan karyawannya sendiri, atau sengaja dibuat enggak betah sampai akhirnya karyawannya resign dengan sendirinya.

Karyawan atau para pekerja berperilaku quiet quitting, dibalas oleh kantor dengan cara quiet firing. Begitulah akhirnya yang berlaku dalam dinamika dunia kerja kekinian sekarang ini.

Tentu kalau begini yang berlaku, maka jelaslah sudah, baik itu karyawan dan kantor sudahlah tidak ada lagi kesepahaman dan kesatuan visi mupun misi, dan jelas situasional ini adalah situasi yang tidak sehat atau tidak kondusif.

Bagaimana tidak, ini karena antara kantor dan karyawan ternyata ada konflik terselubung dan ada keegoisan masing-masing pihak, baik itu karyawan maupun kantor terkait sikapnya masing-masing.

Lantas, bagaimana baiknya soal Quiet Quitting dan Quiet Firing ini?

Ya, haruskah yang diutamakan adalah saling mengedepankan idealisme dan egosentris masing-masing pihak dengan berlaku saling menyalahkan dan saling mencari pembenaran masing-masing, baik itu para karyawan ataupun pihak kantor, terkait quiet quitting dan quiet firing ini?

Ilustrasi gambar bekerja di kantor | Dokumen Foto Via Kompas.com
Ilustrasi gambar bekerja di kantor | Dokumen Foto Via Kompas.com

Nah, berkaitan dengan quiet quitting dan quiet firing ini, melalui artikel ini, penulis ingin memberi saran dan masukan terkait solusinya, semoga bisa jadi masukan bersama demi kebaikan.

A. Solusi bagi Karyawan yang sedang Kena Sindrom Quiet Quitting.

Pertama, kalau memang dalam rangka alasan positif untuk konsistensi jobdesc, keprofesionalan jobdesck, dan worklife balance, tidak salah kamu juga sih sebenarnya kalau kamu berlaku quiet quitting. 

Tapi, ada yang patut diingat, kalau pada akhirnya tujuan kamu adalah untuk mendapat perhatian kantor semata, terus kamu malahnya berperilaku quiet quitting seperti di atas, ya bagaimana kantor bisa tahu tentang kamu.

Setidaknya kamu harus tetap menonjolkan bakat, potensi, dan talenta kamu, atau terbuka pada kantor terkait pendapatmu terhadap pola pembinaan kantor terhadap karyawan, sehingga kantor bisa membaca apa yang kamu mau dan pasti kantor akan meresponnya dengan positif juga dan ada pertimbangan untuk introspeksi.

Tapi, kalau kamu justru semakin tenggelam dengan perilaku quiet quitting versi kamu tanpa ada upaya kamu mempraktikannya dengan bukti kinerja dan keterbukaan kamu untuk mengeluarkan pendapat, bagaimana kantor bisa perhatian. Jadi, di sini pilihannya tinggal terserah kamu saja.

Kedua, kalau memang kamu sudah merasa bahwa kantor kamu memang sudah enggak sehati lagi dengan ekspektasi kamu, maka tinggal kamu saja keputusannya, mau bertahan atau tidak.

Yang jelas, biar bagaimanapun kantor itu pasti lebih mengutamakan visi dan misinya, sehingga karyawan lah yang seharusnya fleksibel dan adaptif dengan visi dan misi kantor.

Nah, daripada kamu mengharap dapat perhatian dari kantor dengan cara quiet quitting tapi hasilnya juga enggak sesuai ekspektasi kamu, ya sudahlah buat apa kamu bertahan dengan quiet quitting. Itu hanyalah kepercumaan belaka, nah sebagai jalan keluarnya adalah, ya kamu terbuka saja mengeluarkan pendapat atau kamu resign saja. 

Daripada kamu makin tertutup dan akhirnya di quiet firing oleh kantor karena kantor tahu ternyata kamu sedang quiet quitting kepada kantor, ya sudah resign saja. 

Ketiga, ada yang perlu jadi catatan penting buat karyawan. Bahwasanya suatu kantor itu tidak akan ada ruginya sama sekali ketika kamu berperilaku quiet quitting.

Yang rugi justru karyawan sendiri, apalagi ketika kantor tahu kamu sedang quiet quitting, justru kantor akan semakin nyuekin kamu dengan memberlakukan quiet firing.

Bahkan kalau kamu resign pun, enggak ada pengaruhnya bagi kantor, atau kamu akhirnya dipecat pun ya enggak ada ruginya juga buat kantor.

Karena apa, ya terang saja kantor tinggal cari karyawan baru lagi kan, gampang urusannya kan, enggak ada ruginya kan kantor.

Jadi, di sini tinggal bagaimana kamu saja, mau terus spartan, militan, dan ajeg menunjukan dan mempertahankan kinerja kamu serta tetap loyal dengan kantor atau justru sebaliknya, ya terserah saja.

Yang jelas, kantor itu tidaklah mungkin mendiamkan karyawannya kalau karyawannya memang bermutu dan berkualitas, pasti kantor akan memperhatikan bagaimana perkembangan karier karyawannya termasuk kesejahteraan karyawannya.

Yang pasti, kalau karyawannya memang dinilai layak untuk itu, kenapa tidak. Tapi semua itu perlu proses kan, untuk kesananya perlu dasar penilaian mutu dan kualitas.

B. Solusi bagi Kantor yang Memberlakukan Quiet Firing.

Pertama, dengan adanya perilaku quiet quitting di kalangan pekerja, kantor juga perlu mendalaminya, oleh sebab kenapa para karyawan berperilaku seperti itu ya perlulah kantor mengevaluasi secara keseluruhan terkait kinerja kantor.

Sehingga kantor perlu juga perhatian dan pertimbangan bijak, jangan pula langsung memberlakukan quiet firing, sehingga tidak ada salahnya kalau kantor mengevaluasi sistematika organisasi yang berlaku di kantor.

Memang tidak ada aturan baku yang menyalahkan sih kalau kantor malah membalas perilaku quiet quitting karyawan dengan quiet firing, karena kantor memanglah sebagai user, tapi haruskah begitu yang dilakukan.

Nah, daripadai saling toxicrelationship begini antara karyawan dan kantor, maka tidak ada salahnya pihak kantor mengevaluasi kembali bagaimana penerapan pola pembinaan karyawan dengan bijak dan penuh pertimbangan.

Kedua, kalau kantor justru bertindak quiet firing pada karyawannya, maka jelaslah ke depan akan semakin timbul polemik-polemik yang akan semakin mendampaki kinerja kantor secara keseluruhan.

Ya, bisa saja ke depan malah akan menyebabkan semakin tidak kondusifnya situasional dan lingkungan kantor, alias kultur kantor berubah jadi toxic dan kantor semakin tidak sehat, karena justru terjadi perseteruan ataupun konflik internal antara kantor dan karyawannya sendiri.

Jadi, agar situasional lingkungan kantor kondusif dan sehat, maka tidak ada salahnya kalau pihak kantor perlu instrospeksi juga terkait sistematika organisi kantor.

Ketiga, kalau karyawan dinilai memang sudah tidak layak lagi dipekerjakan karena sudah tidak sevisi dan semisi dengan kantor, ya karyawan jangan dikasih "status gantung".

Ya jelas kurang bijak kalau begini caranya, lebih baik ya sudah enggak usahlah kantor bikin quiet firing segala, karena justru kedepannya malah bikin kantor semakin enggak sehat.

Jadi, daripada karyawan diposisikan setengah hati alias "status gantung" tanpa kejelasan perkembangan karier dan tanpa kejelasan nasib, ya sudah panggil saja baik-baik dan perlakukan dengan baik, kalau memang mau diputus hubungan kerja, ya bagaimana baiknya lah PHK nya dengan hormat.

-----

bekerja di kantor | Dokumen Foto Via Freepik.com
bekerja di kantor | Dokumen Foto Via Freepik.com

Ya, fenomena quiet quitting dan quiet firing seiring waktu berjalan pada intinya secara simultan akan banyak memberi dampak negatifnya dari pada dampak positifnya.

Yang jelas juga seiring waktu ke depan akan berdampak juga pada kesehatan mental karyawan dan kesehatan kinerja kantor secara keseluruhan.

Jadi, lebih baik antara karyawan dan kantor itu adalah sejalan, sehati, sevisi, dan semisi, agar tujuan yang ingin dicapai oleh kantor dapat terwujud.

Saling keterbukaanlah sebenarnya kuncinya, karyawan maunya apa, kantor maunya apa, lalu setelahnya sudah ada saling terbuka dan terungkap apa yang jadi masalah dan kendala, tinggal dicari bagaimana solusi terbaiknya.

Situasi sehatnya suatu kantor itu itu ditandai dengan saling bersinerginya, saling kompaknya, dan jalinan kebersamaan antara karyawan dan pihak kantor yang solid untuk mencapai dan menggapai visi misi bersama.

Jadi, dari pada karyawan berperilaku quiet quitting, Kantor juga menerapkan quiet firing, lebih baik saling terbuka saja untuk mencari solusi demi kebaikan bersama, seperti yang sudah penulis ungkapkan melalui artikel ini.

Demikian kiranya artikel ini, semoga bisa jadi saran dan masukan yang konstruktif terkait toxic relationship quiet quitting dan quiet firing kekinian.

Sigit Eka Pribadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun