Bagaimana tidak, ini karena antara kantor dan karyawan ternyata ada konflik terselubung dan ada keegoisan masing-masing pihak, baik itu karyawan maupun kantor terkait sikapnya masing-masing.
Lantas, bagaimana baiknya soal Quiet Quitting dan Quiet Firing ini?
Ya, haruskah yang diutamakan adalah saling mengedepankan idealisme dan egosentris masing-masing pihak dengan berlaku saling menyalahkan dan saling mencari pembenaran masing-masing, baik itu para karyawan ataupun pihak kantor, terkait quiet quitting dan quiet firing ini?
Nah, berkaitan dengan quiet quitting dan quiet firing ini, melalui artikel ini, penulis ingin memberi saran dan masukan terkait solusinya, semoga bisa jadi masukan bersama demi kebaikan.
A. Solusi bagi Karyawan yang sedang Kena Sindrom Quiet Quitting.
Pertama, kalau memang dalam rangka alasan positif untuk konsistensi jobdesc, keprofesionalan jobdesck, dan worklife balance, tidak salah kamu juga sih sebenarnya kalau kamu berlaku quiet quitting.Â
Tapi, ada yang patut diingat, kalau pada akhirnya tujuan kamu adalah untuk mendapat perhatian kantor semata, terus kamu malahnya berperilaku quiet quitting seperti di atas, ya bagaimana kantor bisa tahu tentang kamu.
Setidaknya kamu harus tetap menonjolkan bakat, potensi, dan talenta kamu, atau terbuka pada kantor terkait pendapatmu terhadap pola pembinaan kantor terhadap karyawan, sehingga kantor bisa membaca apa yang kamu mau dan pasti kantor akan meresponnya dengan positif juga dan ada pertimbangan untuk introspeksi.
Tapi, kalau kamu justru semakin tenggelam dengan perilaku quiet quitting versi kamu tanpa ada upaya kamu mempraktikannya dengan bukti kinerja dan keterbukaan kamu untuk mengeluarkan pendapat, bagaimana kantor bisa perhatian. Jadi, di sini pilihannya tinggal terserah kamu saja.
Kedua, kalau memang kamu sudah merasa bahwa kantor kamu memang sudah enggak sehati lagi dengan ekspektasi kamu, maka tinggal kamu saja keputusannya, mau bertahan atau tidak.