Mohon tunggu...
Sigit Eka Pribadi
Sigit Eka Pribadi Mohon Tunggu... Administrasi - #Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#

#Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#Menulis sesuai suara hati#Kebebasan berpendapat dijamin Konstitusi#

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Quiet Quitting Itu Sama dengan Mental Cemen dan Terlalu Berekspektasi Idealis

17 September 2022   19:56 Diperbarui: 17 September 2022   20:46 872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar sindrom quiet quitting di kalangan pekerja | Dokumen Gambar Via Freepik.com


Sindrom quiet quitting masih jadi trending di kalangan pekerja, khususnya pada kalangan pekerja generasi Z atau para Zilenial kekinian.

Berbagai pembenaran ini dan itu terkait kultur dan situasional suatu kantor jadi latar belakang alasan para pekerja (Generasi Z) untuk memberlakukan quiet quitting yang salah kaprah.

Padahal yang namanya dinamika kerja di suatu kantor itu selalu bergerak dinamis dan perubahan lah sebenarnya yang selalu konstan dalam dunia kerja.

Ya, penulis yang juga sebagai pekerja tapi juga merangkap sebagai pengusaha merasakan benar bagaimana mengalami konstannya perubahan itu dalam dunia kerja.

Yang jelas, untuk sukses dalam meniti karier itu enggak bisa instan, butuh merintis dari bawah dan prosesnya yang tidak sebentar, ada syarat serta prasyarat untuk mencapai goal yang diinginkan. Dan semua itu tergantung bagaimana kekuatan mental yang dimiliki dalam diri.

Seperti halnya pengalaman penulis sebagai PNS, dengan pencapaian yang kekinian sudah menduduki posisi jabatan Kepala Bagian di kantor tidaklah instan.

Pencapaian itu penulis rintis dari bawah, dari anak baru kemarin sore hingga sampailah pada tingkatan leader dan prosesnya butuh waktu kurang lebih 19 tahun lamanya untuk sampai pada posisi tersebut.

Tentunya juga dalam jangka waktu 19 tahun tersebut, berbagai tantangan dan ujian mulai dari yang biasa hingga yang terberat sekalipun pernah penulis alami.

Bagaimana tekanan pekerjaan, ketatnya persaingan dalam peningkatan karier, bagaimana perlakuan kantor sudah pernah penulis alami dan memang kekuatan mental lah yang paling menentukan untuk sejauh mana bisa tetap endurance dalam bekerja.

Ya, jadi jelas di sini, bukanlah ekspektasi idealis, hingga perfrksionisme dan mental cemen yang penulis kedepankan, tapi mental baja lah yang penulis kedepankan, mungkin kalau penulis mengakomodir mental cemen dan ekspektasi idealis serta perfeksionisme diri, bisa jadi penulis akan kena sindrom demotivasi kerja, bahkan turut salah kaprah soal quiet quitting.

Buktinya lainnya soal mental baja ini adalah ketika penulis memutuskan untuk turut terjun dalam dunia usaha, yaitu ketika penulis mendirikan usaha penyiaran radio.

Soal pengalaman penulis dalam dunia usaha penyiaran radio ini secara detilnya bisa klik artikel penulis yang berjudul Pengalaman Saya Mempertahankan Radio agar Tetap On Air

Nah, kalau Anda sudah baca artikel tersebut, tergambar jelas bagaimana jatuh bangunnya penulis merintis usaha tersebut, kalau penulis tidak bermental baja alias bermental cemen, mungkin penulis sudah lama hancur dan bangkrut.

Tapi, karena mental baja dan kegigihan penulis, pada akhirnya usaha yang penulis rintis masih bisa bertahan sampai kekinian, dan bukan perkara mudah untuk tetap bisa eksis dalam dunia usaha ini.

Bukan berarti juga di sini penulis sok pamer soal diri penulis pribadi, tapi sebagai pembelajaran bersama, bahwa sukses berkarier itu tidaklah semudah membalik telapak tangan, karena semuanya butuh proses dan waktu serta pengalaman, butuh ketahanan mental yang mumpuni dan tangguh.

Tentunya juga dalam merintis usaha tersebut, penulis sangat mengetahui bagaimana karakter dan watak para karyawan yang penulis miliki, jadi sebenarnya soal sindrom quiet quitting dan hal lainnya yang sejenis, bukanlah hal yang baru bagi penulis.

Ya, penulis memang tegas kepada karyawan dalam merintis usaha ini, yang sudah enggak cocok dengan visi misi usaha penulis silahkan keluar, yang hanya mengedepankan mental cemen, idealisme diri, dan perfeksionisme sendiri, bakal penulis eliminasi.

Tentunya dalam hal ini bukan berarti penulis otoriter ataupun arogan memperlakukan karyawan, tapi jelas patokan penulis adalah visi dan misi penulis sebagai pemilik perusahaan. Ya kan.

Jadi, kalau karyawan sudah penulis rasa jauh melenceng dari visi dan misi serta kultur perusahaan milik penulis, ya jelas sudah pasti enggak sejalan lagi dengan penulis sebagai pemilik perusahaan, jelas penulis harus ambil keputusan kan dan keputusan itu ya sesuai kebijakan penulis sebagai pemilik perusahaan. Ya kan.

Yang pasti, setiap kantor tidaklah mungkin mengabaikan jenjang peningkatan karier maupun penghasilan karyawannya, dan tentunya untuk mendapat pencapaian tersebut setiap kantor punya kebijakan masing-masing sesuai kemampuan kantor masing-masing.

Sama halnya juga dengan penulis, tentu para karyawan akan penulis nilai sesuai nilai mutu dan kualitasnya, yang memang layak promosi jabatan ya penulis promosikan jabatan, yang layak dapat kenaikan penghasilan ya penulis naikkan penghasilannya, yang belum layak ya harus instrospeksi kenapa belum bisa promosi jabatan dan belum bisa dinaikkan penghasilannya.

Ilustrasi gambar sindrom quiet quitting di kalangan pekerja | Dokumen Gambar Via Freepik.com
Ilustrasi gambar sindrom quiet quitting di kalangan pekerja | Dokumen Gambar Via Freepik.com

Jadi, kalau berdasar pengalaman-pengalaman penulis di atas yaitu sebagai pekerja dan pengusaha, maka salah kaprahnya perilaku sindrom quiet quitting kekinian ini, sejatinya hanyalah karena Anda mengakomodir mental cemen belaka dengan alasan ekspektasi idealisme dan perfeksionisme diri semata.

Penulis tegaskan sekali lagi, dinamika dunia kerja kekinian itu persaingannya semakin ketat dan keras, yang enggak punya mental baja pasti akan tersingkir dan pasti akan semakin tenggelam kariernya.

Jadi, pilihannya tinggal pada masing-masingnya saja, mau salah kaprah dalam berperilaku quiet quitting ya silahkan saja, yang jelas kalau quiet quitting pilihannya ya terserah, karena Anda sendiri juga lah yang menentukan nasib Anda sendiri dalam dunia kerja.

Tapi tentu saja, suatu perusahaan atau kantor pasti akan membaca situasional tersebut, dan setelahnya pasti tidak akan tinggal diam, tentu pada akhirnya akan ada konsekuensi tindakan yang akan diberlakukan oleh kantor.

Yang pasti dalam artikel ini, penulis bertujuan baik, untuk memotivasi bagaimana membentuk mental baja dalam dunia kerja, dan pastinya pengalaman lah juga yang akan mengiringi perjalanan karier.

Dunia kerja kekinian itu tidak akan membutuhkan karyawan yang bermental cemen apalagi yang terlalu mengedepankan ekspektasi idealisme diri dan perfeksionisme diri semata.

Yang dibutuhkan dalam dunia kerja kekinian itu adalah, mereka-mereka yang bermental baja dan yang selalu sejalan dengan visi dan misi, serta kultur suatu kantor.

Sering pindah kerja ataupun resign dari suatu kantor karena enggak cocok dengan standar idealisme diri dan perfeksionisme diri yang pada akhirnya jadi salah kaprah soal quiet quitting memang kesannya gampang.

Tapi, jelas kalau begini namanya pasti ada yang perlu diinstospeksi dalam diri masing-masing, karena pasti ada yang salah dan perlu ada yang dievaluasi.

Sekali lagi sebagai pengingat bersama, mental baja atau immunementality adalah penentu sukses atau tidaknya Anda dalam berkarier, jadi kalau Anda mau tetap konsisten dan eksis dalam meniti karier, maka kedepankanlah mental baja Anda dalam mengarungi dunia kerja.

Sigit Eka Pribadi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun