Ya, memang realitanya, soal quiet quitting ini bisa disebabkan karena situasional dan dinamika lingkungan kerja yang sifatnya rutinitas, begitu-begitu saja, yang berujung membosankan ataupun menjemukan.
Memang logis dan wajar sih, kalau suatu saat pada akhirnya Anda memutuskan quiet quitting sajalah, karena enggak ada pengaruhnya juga, toh kerjaan tetap selesai, toh tetap juga gajian.
Akan tetapi, dengan semakin kerasnya tantangan, ketatnya persaingan, dan dinamisnya dinamika pergerakan dunia kerja kekinian, haruskah Anda berperilaku quiet quitting?
Haruskah Anda pada akhirnya jadi yang paling jauh tertinggal dibelakang dari yang lainnya, dan akhirnya jadi orang-orang yang "kena mental", orang-orang yang kalah bertempur, sampai pada akhirnya produktivitas kerja terus menurun dan akhirnya semakin demotivasi, karena quite quitting ini?
Nah, inilah yang sekiranya yang perlu jadi pertimbangan Anda, karena apapun itu lingkungan kantornya, apapun itu suasana dan situasional kantornya, pasti ada karyawan lainnya yang tetap konsisten pada komitmennya dalam bekerja dan punya target yang jelas dalam kariernya, serta tetap punya prinsip yang ajeg dalam bekerja.
Apakah dengan begini, tidakkah Anda pikirkan dengan matang untuk apa sebenarnya Anda berperilaku quite quitting?
Bukankah quite quitting ini hanyalah kepercumaan belaka? Bukankah kalau begini sebenarnya Anda sedang putus asa, kena mental, alias bermental krupuk?
Karena jelas di sini kalau Anda berperilaku quite quitting dapat dipastikan karier Anda justru akan semakin tenggelam bahkan semakin terpuruk, karena akan semakin luput dari penilaian kantor.
Nah, sebagai saran terkait bagaimana solusinya ketika Anda dilanda quiet quitting ini, maka coba Anda renungkan, resapi, dan pertimbangkan kembali melalui apa yang penulis sampaikan dibawah ini;
Pertama, coba Anda ingat-ingat kembali apa yang menjadi keputusan Anda bekerja di kantor yaitu ketika Anda memutuskan menandatangani kontrak perjanjian kerja Anda.