Ya, RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak, yang mengatur tentang hak dan kewajiban terkait cuti melahirkan 6 bulan, cuti keguguran 1,5 bulan, cuti pendampingan suami 40 hari, akses layanan kesehatan dan psikolog, edukasi tentang kesehatan reproduksi dan kehamilan, dan sebagainya ini masih menjadi pro dan kontra.
Penulis yang juga sebagai bagian dari pelaku usaha yang juga memiliki usaha yang bergerak dalam bisnis Radio maka kalau resmi disahkan, jelas RUU KIA ini cukup memberatkan.
Yang jelas, titik beratnya bagi penulis terkait RUU KIA ini adalah di bagian pemberian cuti hamil 6 bulan bagi pekerja wanita.
Apalagi bisnis usaha milik penulis baru mulai bisa bernapas atau perlahan bangkit dari keterpurukan saat Covid-19 masih jadi pandemi silam, dan penulis rasa sepertinya banyak juga pelaku bisnis usaha yang baru bisa bernapas lagi dimasa kekinian ini.
Tapi bukan berarti bagi pelaku bisnis yang lainnya yang tidak terlalu terdampak pandemi atau pelaku bisnis yang lancar-lancar saja bisnisnya juga langsung pro dengan RUU KIA ini, tentu saja RUU KIA ini sedikit banyaknya akan berdampak ke depannya secara simultan, termasuk ke depan bagaimana sikap pelaku usaha bila diberlakukan bagi seluruh pelaku usaha.
Memang di satu sisi RUU KIA ini jelas sangat memberi kesejahteraan dan manfaat khususnya bagi para pekerja wanita, tapi disatu sisi lainnya akan jadi dilematis bagi para pelaku usaha, bagaimana ke depannya soal perekrutan dan masa depan pekerja wanita, khususnya diranah Swasta.
Kenapa?
1. Dapat semakin menutup peluang kerja bagi calon rekrutan tenaga kerja wanita.
Ya, cuti kehamilan 6 bulan bagi para pekerja wanita bukanlah waktu yang sebentar. Setengah tahun bagi pelaku usaha menggaji tanpa produktivitas kerja dan kinerja jelas saja jadi masalah.