Ya, begitulah kira-kiranya beberapa dampak dan sikap pelaku usaha bila RUU KIA ini jadi diundangkan, sangat dilematis dan cukup memberatkan bagi pelaku usaha khususnya yang skala usahanya masih skala kecil dan menengah.
Apalagi bila ke depan ada aturan turunan kalau pelaku usaha turut dilibatkan atau dibebani tanggung jawab oleh pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah semisal Permen ataupun Perda terkait keterlibatan pelaku usaha terhadap pelayanan kesehatan ibu dan anak selama masa kehamilan tersebut.
Tambahnya lagi akan semakin memberatkan pelaku usaha, lha mengeluarkan biaya penghasilan untuk masa cuti kehamilan 6 bulan tanpa produktivitas kerja dan kinerja saja sudah biaya percuma, apalagi kalau misalnya ke depan ditambah beban lagi oleh aturan turunannya.
Dalam hal ini juga penulis yakin, mayoritas pelaku usaha pastinya tetap mengutamakan kesetaraan gender terhadap para pekerja wanita dalam menjalankan usahanya.
Akan tetapi kalau RUU KIA jadi diundangkan, ya UU ini sendirilah yang ke depan akan berdampak pada kesetaraan gender itu sendiri.
Oleh karenanya, kalau boleh saran, maka sebelum RUU KIA nantinya disahkan, maka sebaiknya atau ada baiknya pihak DPR, pemerintah, dan pelaku usaha, termasuk para pekerja dan mungkin pihak terkait lainnya duduk bersama dalam rangka mencari solusi bersama atau setidaknya jalan tengahnya seperti apa.
Seperti cuti kehamilan berlaku 4 bulan saja, tapi tetap digaji secara utuh misalnya, yang setidaknya dalam hal ini kalau cuma menambah atau keluar biaya satu bulan gaji saja secara utuh masih lebih logis.Â
Atau mungkin ada solusi lainnya misalnya, oke setuju cuti hamil 6 bulan tapi hanya terima separuh gaji misalnya dan mungkin berbagai solusi lainnya.
Nah, kalau bisa seperti yang beberapa penulis sarankan di atas ya masih bisalah pelaku usaha berpikir dan mempertimbangkannya, tapi kalau cuti hamil 6 bulan dengan 3 bulan gaji penuh dan 3 bulan dapat 70 persen gaji kayaknya cukup beratlah.
Biar bagaimanapun pelaku usaha itu pasti lebih mengutamakan hitung-hitungan untung dan rugi dalam menjalankan usahanya.
Kalau cuma untuk rugi, ya untuk apa, ya kalau enggak begitu bisa-bisa gulung tikar kan, wajar dan logis toh kalau pelaku usaha hitung-hitungan begitu.