Meskipun ada aturan 3 bulan lagi setelahnya penghasilan dibayarkan 70 persen, tetap saja kan dalam hal ini para pelaku usaha harus mengeluarkan biaya penghasilan tersebut.
Bayangkan saja kalau dalam satu kantor tidak hanya satu atau dua orang pekerja wanita yang cuti hamil 6 bulan, tapi puluhan misalnya atau bahkan hampir ratusan misalnya, berapa besar biaya pembayaran penghasilan yang harus tetap di keluarkan pelaku usaha sementara produktivitas tidak ada.
Bandingkan kalau bisa diirit bila di suatu kantor hanya ada pekerja pria saja, jelas lebih efisien biaya toh.
Itu baru bicara satu kali kehamilan, bagaimana kalau ke depan hamil lagi? Ya jelas saja keluar biaya lagi, kan.
Efisien mana bila di kantor hanya ada pekerja pria saja? Jawabannya jelaskan.
Nah, berkaitan dengan ini, kalau jadi disahkan, maka secara opini pribadi, penulis akan sangat hitung-hitungan dan mempertimbangkan banget dalam hal perekrutan pekerja wanita. Bisa jadi juga penulis malah enggan merekrut pekerja wanita.
Kemudian juga, selama para pekerja wanita cuti hamil 6 bulan, tentu akan berdampak pada kinerja kantor, tentu saja pelaku usaha akan mencari pengganti sementara yang bisa dimungkinkan dari pekerja lainnya untuk sementara rangkap kerja.
Pastinya dalam hal ini akan keluar biaya juga kan, sudah tetap bayar penghasilan yang cuti hamil 6 bulan tapi masih bayar juga biaya tak terduga untuk pekerja pengganti.
Kalau pun mau cari pengganti dari luaran kan tetap bayar juga penghasilannya toh, selain itu, ya masa cuma kerja enam bulan saja habis itu di PHK, ya enggak efektif dan efisienlah.
Jelas saja dalam hal ini efektivitas dan efisiensi biaya penghasilan yang lebih penulis pertimbangkan.Â
Sangatlah jelas kalau dihitung-hitung masih lebih irit penulis memperkerjakan pekerja pria saja, meskipun dalam hal ini pekerja pria dapat cuti pendampingan bagi istrinya 40 hari, tapi masih lebih irit biaya toh.