Mohon tunggu...
Sigit Eka Pribadi
Sigit Eka Pribadi Mohon Tunggu... Administrasi - #Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#

#Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#Menulis sesuai suara hati#Kebebasan berpendapat dijamin Konstitusi#

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Logical Fallacy Pelaku Terorisme, Generalisasi Agama, dan Penanggulangan Terorisme

30 Maret 2021   19:31 Diperbarui: 30 Maret 2021   19:35 877
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar Teror Bom di Gereja Katedral Makassar | Dokumen foto via Kompas.com

Sejatinya kalau mau mencari ujung pangkal terkait terjadinya terorisme di Indonesia bisa dilihat juga dari adanya persoalan-persoalan kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang memunculkan prakondisi dan katalisatornya.

Beberapa faktor prakondisi tersebut di antaranya bisa dimungkinkan karena, adanya modernisasi informasi dan teknologi, problematika sosial ekonomi, sistem politik, dan pemerintahan.

Sedangkan dari faktor katalisator bisa dimungkin karena, adanya rasa diskriminasi keadilan, baik itu karena tersumbatnya saluran partisipasi politik, sosial, budaya, hingga memang karena adanya fasilitas dan persenjantaan yang memadai.

Sehingga dengan melihat adanya berbagai persoalan kompleks dari kemungkinan adanya faktor prakondisi dan katalisator inilah, akhirnya jadi sangat dimanfaatkan oleh user ataupun para aktor di balik layar tindak terorisme yang intinya ingin menghancurkan Indonesia.

Jadi tidaklah mengherankan, kalau mereka memainkan strategi isu yang paling sensitif dan paling mudah dikonsumsi dalam masyarakat Indonesia yang sering sekali selalu berkaitan dengan Ideologi dan SARA, khususnya dalam hal Agama.

Bahkan sering sekali isu sensitif di atas dikombinasikan dengan strategi doktrinisasi logical fallacy atau kecohan dan bujuk rayu, untuk membuat suatu kesesatan berpikir atas keyakinan dan penalaran beragama menjadi semu, keliru, atas latar belakang prasangka, emosi, perasaan subyektif dan tidak valid, baik itu pada perhubungannya antara keyakinan diri dan dalam lingkungan kehidupannya.

Dan pada akhirnya terjadilah yang namanya brain washing atau cuci otak yang berdampak pada terjadinya pemahaman radikalisme beragama yang biasanya menyasar kepada entitas-entitas yang memang sangat rentan dalam beragama.

Sebab dari faktanya, banyak dari para teroris yang tertangkap mengatakan, bahwa orang-orang diluar dari orang golongannya adalah kafir dan halal untuk dibunuh, pemerintah adalah togut dan sebagainya.

Artinya, setiap pelaku terorisme adalah orang-orang yang memang sudah berhasil di doktrin mindset-nya secara logical fallacy, mereka yang memang sudah sesat pikir, tercuci otaknya, hingga jadi terpapar radikalisme dalam beragama.

Yang jadi saangat memprihatinkan adalah, ketika telah terjadi aksi terorisme, para user ataupun aktor di balik layarnya ternyata berhasil juga memberi dampak simultan terkait generalisasi pada suatu Agama tertentu.

Alhasil, ketika terjadi aksi terorisme justru menyebabkan dampak signifikan juga di masyarakat, yaitu terjadinya logical fallacy masayarakat untuk mengeneralisasi agama tertentu yang terkait dengan aksi terorisme hingga akhirnya konstruksi logika generalisasi yang sengaja di bentuk melalui aksi terorisme tersebut, mengalami kesesatan berpikir saat menarik kesimpulan.

Bahkan bisa lebih parah lagi, sampai terjadi labelisasi terhadap organisasi kemasyarakatan ataupun perkumpulan dan komunitas tertentu sebagai sarang teroris, atau bahkan label sebagai tempat tumbuhnya radikalisme yang berujung pada tindakan terorisme.

Padahal generalisasi Agama yang terjadi di masyarakat tersebut tidaklah benar, tidaklah mungkin satu agama pun di dunia ini yang memperbolehkan umatnya melakukan tindak terorisme, apalagi memerintahkan umatnya untuk mendekat kepada Tuhannya dengan cara melakukan penembakan, pengeboman ataupun perampokan.

Akan tetapi, justru di situlah juga yang menjadi tujuan dari pihak user ataupun aktor intelektual yang bermain di balik layar dari terjadinya setiap aksi terorisme, mengeneralisasi masyarakat agar turut terdoktrin logical fallacy soal keberagamaan.

Ya, bila berlatar belakang dari terjadinya logical fallacy dan generalisasi Agama ini, baik itu dari pelaku teror dan masyarakat, maka sebenarnya kalau mau jujur, strategi kontra terorisme yang efektif ini adalah dengan menemukan titik persoalan kompleksnya, setidaknya dengan melihat dari faktor prakondisi dan katalisatornya seperti yang penulis kemukakan tadi di awal.

Oleh karenanya di sinilah diperlukan kehadiran dan kepekaan negara dan pemerintah sebagai wealfare state untuk menumbuhkan dan menggenggam kepercayaan rakyat, dalam rangka mengatasi logical fallacy dan generalisasi Agama terkait terorisme ini, termasuk juga, terkait apa sih sebenarnya langkah solutif pemerintah untuk menemukan titik persoalan kompleks terorisme ini.

Selain itu juga, sebenarnya terkait penanggulangan terorisme ini dibutuhkan juga adanya kejelasan penanganan yang satu garis komando dalam upaya pencegahan secara dini dalam rangka menutup kesempatan dilakukannya tindak pidana terorisme.

Apakah Komandonya ada di BNPT ataukah ada di Polri? Apakah keduanya selevel atau bagaimana, hierarkinya bagaimana?

Ilustrasi gambar via CNN Indonesia.com
Ilustrasi gambar via CNN Indonesia.com

Karena seperti yang diketahui, dalam Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 dijelaskan bahwa, kewenangan BNPT dalam persoalan terorisme ini meliputi fungsi pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan, dan penyiapan kesiapsiagaan nasional.

Artinya, kalau merujuk pada Perpres tersebut, maka kalau mau dijalankan secara satu garis komando dan sesuai fungsinya, BNPT lah yang seharusnya jadi pusat komandonya, sebagai desain maker-nya, sekaligus sebagai player-nya dalam bidang penanggulangan terorisme.

Namun pada praktiknya di lapangan, terkesan kelihatan saling tumpang tindih dengan Densus 88 (Polri), inipun karena Densus 88 berpegangan juga pada Undang-undang yaitu, UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme, yang intinya mempertegas kewenangan Polri sebagai unsur utama dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, sedangkan TNI dan BIN adalah sebagai unsur pendukung dari pemberantasan tindak pidana terorisme.

Yang artinya juga keterlibatan TNI di sini adalah mendukung Polri dengan pasukan anti teror seperti Detasemen Penanggulangan Teror Group 5 Anti Teror, Detasemen 81 Gultor Kopassus, Detasemen Jalamangkara Marinir AL, Detasemen Bravo Paskhas AU, sedangkan di Badan Intelijen Negara (BIN) meliputi satuan gabungan yang merupakan representasi dari kesatuan anti teror

Di sinilah juga sebenarnya yang perlu jadi perhatian pemerintah, dalam hal penanggulangan terorisme ini, terkait bagaimana sih sebenarnya terkait fungsi dan wewenangnya di antara BNPT dan Polri dengan Densus 88-nya ini.

Sehingga haruslah jelas terkait fungsi dan wewenangnya masing-masing, sebab soal penanggulangan terorisme ini, BNPT dan Polri dengan Densus 88-nya juga punya fungsi dan wewenang yang kurang lebihnya hampir sama dalam hal  pencegahan dan penindakan terhadap aksi terorisme.

Tujuannya apa, ya agar pencegahan dan penanggulangan terorisme ini dapat berjalan efektif, jangan kesannya ketika sudah kejadian baru buru-buru melakukan pengetatan pengamanan dan baru ramai melakukan penindakan, pengerebekan, dan penangkapan para teroris.

Bahkan pada akhirnya jadi terkesan saling lempar tanggung jawab, seperti, kalau soal ini yang berwenang adalah BNPT, kalau soal itu yang berwenang adalah Polri, dan sebagainya.

Memang, bila bicara terkait penindakan dan penangkapan teroris tersebut sudah barang tentu sebelumnya informasinya telah A 1, bahkan jauh sebelumnya soal cegah dini, penangkapan dan penindakan terorisme ini telah banyak di lakukan oleh Densus 88, namun sayangnya kesan yang kelihatan adalah, ketika aksi teror baru saja terjadi, ya itu tadi, baru buru-buru melakukan pengetatan pengamanan dan baru ramai melakukan penindakan, pengerebekan, dan penangkapan teroris.

Jadi, ya kalau bisa sih, pemerintah harus kembali duduk bersama lagi terkait penanggulan terorisme ini, sehingga di antara BNPT dan Polri harus jelas fungsi dan wewenangnya, termasuk sinergitasnya dengan TNI dan BIN harus bagaimana, sehingga tidak terjadi tumpang tindih fungsi dan wewenangnya di lapangan, serta tidak lagi terjadi saling lempar tanggung jawab.

Yang jelas, masyarakat sangat mengapresiasi tinggi atas penanggulangan terorisme yang selama ini telah diterapkan, namun alangkah lebih baik lagi, bila sisi efektifitas dan profesionalitasnya yang lebih di ke depankan.

Namun terkait itu semua, muaranya kembali kepada pemerintah, apakah tetap memberlakukan seperti yang sudah diterapkan tersebut, ataukah dapat berbesar hati dan berlapang dada untuk melakukan instrospeksi dan mengevaluasinya lagi agar ke depan terkait penanggulangan terorisme ini jadi lebih baik lagi.

Demikianlah kiranya artikel ini, mohon maaf sekiranya masih banyak kekurangannya dan semoga dapat bermanfaat.

Sigit Eka Pribadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun