Ya, disadari ataupun tidak disadari sindrom "merasa paling" di antara sesama karyawan ini memang sering umum terjadi di suatu kantor.
Sehingga ada karyawan yang merasa bahwa di kantor itu hanya dirinya sendirilah karyawan yang paling sibuk, yang paling penting, yang paling diperlukan, yang paling hebat, yang paling benar, yang paling pintar, dan "merasa paling" lainnya.
Bahkan parahnya lagi, sampai ada juga karyawan yang sesumbar, kalau tanpa ada eksistensi dirinya di kantor, maka kantor bisa jomplang ataupun kantor bisa tumbang.
Padahal sejatinya, apa yang disesumbarkan tersebut ataupun dari perilaku "merasa paling" tersebut, belum tentu sesuai ukuran mutu dan kualitas kinerja diri di kantor, bahkan ternyata justru jauh dari kenyataan yang sebenarnya.
Dan perlu diketahui dan jadi catatan penting juga, kalau sindrom "merasa paling" ini dibiarkan saja, bisa-bisa seseorang akan keterusan merembet mengalami gangguan kepribadian, mental dan kejiwaan.
Seperti, megalomaniac, narsisistic, druning-krueger efect, overthinking, dan bermacamnya yang sejenis, yang intinya menyebabkan diri terjebak dalam sindrom "merasa paling".
Wah, gawat juga kan, oleh karena itu daripada nanti kena gangguan kepribadian, mental dan kejiwaan yang ngeri-ngeri itu, bahkan pada akhirnya jadi orang yang sombong, angkuh dan congkak di kantor, lebih baik hindari saja jebakan sindrom "merasa paling" ini.
Lantas bagaimana caranya dong langkah solusi untuk mengatasi ataupun menghindari jebakan sindrom "merasa paling" tersebut?
Nah, berikut ini ada 3 langkah solusi dalam rangka mengatasi ataupun menghindari jebakan sindrom "merasa paling" yang bisa penulis sarankan yaitu;
1. Menjadi Wawas Diri Dengan Menerapkan Grit and Humility.
Ya, segera tanamkan grit dalam diri, grit ini sendiri merupakan, langkah wawas dalam rangka mengukur sifat, kapasitas, dan kegigihan dalam mengerjakan sesuatu atau mencapai tujuan di kondisi yang berkelanjutan tanpa terlalu peduli dengan penghargaan, pengakuan ataupun validasi orang lain.
Jangan ketinggalan juga untuk mengombinasinya dengan menanamkan humility dalam diri, yaitu langkah wawas dalam rangka mengukur kemampuan dalam hal menghargai dan mengukur kekuatan dan kemampuan orang lain serta keterbukaan terhadap pembelajaran dan bersedia untuk mendengarkan dan menghargai perspektif yang berbeda ataupun bertentangan.
Dengan begini, setidaknya seorang karyawan akan mampu menyadari dan wawas diri, terkait seberapa sih sebenarnya peran sertanya di kantor hingga seberapa sih tingkatan baik dan buruknya interaksinya di lingkungan kantor.
2. Mengoptimasi Growth Mindset.
Langkah berikutnya adalah mengoptimasi growth mindset, yaitu langkah wawas diri untuk bisa menerima kegagalan (Embrace Failure), bersedia meminta dan menerima umpan balik.
Selalu tangguh menghadapi tantangan, dan berusaha melampaui batas diri bukan dengan kesombongan tapi berpacu dengan inovasi dan kreatifitas dan selalu terus berupaya menjadi pembelajar (Become a lifelong learner).
Dengan mengoptimasi growth mindset ini, maka seorang karyawan akan semakin teguh dengan prinsipnya dan komitmennya, bahwa segala sesuatunya dalam pekerjaan itu adalah perlu berproses, beradaptasi, dan berkarya cipta.
3. Menjadi SMART Dalam Menapaki Rancangan Target.
Menjadi SMART disini adalah bagaimana target kinerja visi dan misi dari karyawan harus di rancang secara;
Spesifik yaitu tersusun dan terencana.
Measurable yaitu punya tolak ukur.
Achievable yaitu memungkinkan untuk diraih.
Relevant yaitu tahu batasan dan realistis.
Timely yaitu punya tenggat waktu.
Sehingga dengan cara SMART ini, karyawan akan selalu wawas diri dan menyadari bagaimana soal tanggung jawab dan perannya sesuai job desc masing-masing dalam menyelaraskan rancangan target kerjanya untuk selalu sesuai dengan visi dan misi yang dicanangkan oleh suatu kantor.
Nah sampai di sini, maka tinggal dipilih saja, apakah karyawan mau terus terjebak dalam sindrom "merasa paling" tapi akhirnya jadi kena gangguan kepribadian, mental, dan kejiwaan atau mau mengatasinya ataupun menghindarinya untuk selalu wawas diri dengan tiga langkah yang penulis sarankan di atas.
Yang jelas, terkait seberapa nilai ukuran mutu, kualitas, kinerja, termasuk bagaimana dedikasi, loyalitas dan totalitas seorang karyawan di kantor, maka tentunya hanyalah sistem manajemen kantor yang menentukan terkait apa yang menjadi parameter penilaiannya.
Jadi kesimpulannya adalah, sebaiknya karyawan tidak usah berlaku "merasa paling" di kantor, lebih baik optimalkan kinerja, kerjakan secara maksimal sesuai dengan apa yang menjadi job desc di kantor.
Karena yang membuktikan seberapa bermutu dan berkualitas kinerja karyawan adalah nilai pengejawantahan dari loyalitas, dedikasi, dan totalitas.
Demikianlah kiranya artikel singkat ini, semoga dapat bermanfaat.
Salam hangat.
Sigit Eka Pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H