Mohon tunggu...
Sigit Eka Pribadi
Sigit Eka Pribadi Mohon Tunggu... Administrasi - #Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#

#Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#Menulis sesuai suara hati#Kebebasan berpendapat dijamin Konstitusi#

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jalan Panjang "Jogja Kembali" hingga Tercetusnya "Proklamasi" Sri Sultan Hamengku Buwono IX

22 Maret 2021   11:47 Diperbarui: 22 Maret 2021   12:08 1241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sultan HB IX diarak setelah penarikan mundur pasukan Belanda, Juni 1949. Sumber: koleksi Repro IPPHOS via Humas Pemda DIY/Kemendikbud.go.id

Jogja Kembali adalah hasil proses panjang dari dinamika politik revolusi mulai dari rentang waktu sejak agresi militer Belanda kedua hingga pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949.

Jogja Kembali merupakan tonggak berakhirnya Revolusi Indonesia dalam artian revolusi fisik atau perang mempertahankan kemerdekaan dan merupakan representasi dari pulihnya kekuasaan Republik Indonesia secara de facto maupun de jure.

Dalam hal ini, peristiwa ini dimulai saat Sri Sultan Hamengku Buwono IX menerima mandat dari Presiden Soekarno yaitu pada tanggal 1 Mei 1949 di Menumbing, yang diberi kuasa penuh untuk memulihkan pemerintahan di Yogyakarta.

Proses penarikan Tentara Kerajaan Belanda dari Daerah Istimewa Yogyakarta dimulai dalam sebuah kesepakatan oleh pihak RI dan pihak Belanda.

Tercatat pada tanggal 13 Mei 1949, pihak RI dan pihakBelanda menyepakati adanya perjanjian Suspension Of Army yang tertuang dalam Progress Report Sub-Committee I.

Kemudian sebagai perwujudan dari kesepakatan yang telah dibuat tersebut, maka pada tanggal 10 Mei 1949, komandan T-Brigade Tentara Kerajaan Belanda, Kolonel Van Langen memerintahkan kepada seluruh pasukannya yang berada di Residensi Yogyakarta supaya menghindarkan pertempuran dengan pasukan-pasukan Republik Indonesia.

Begitu juga halnya oleh pihak Republik Indonesia pada tanggal 16 Mei 1949, Menteri Negara Koordinator Keamanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX telah memerintahkan TNI untuk menghindari pertempuran-pertempuran dengan Tentara Kerajaan Belanda.

Pada tanggal 23 mei 1949 Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga mengeluarkan surat tertulis kepada pihak Belanda yang berisi, memberikan jaminan bahwa TNI tidak akan melakukan gangguan terhadap Tentara Kerajaan Belanda pada saat pelaksanaan penarikan pasukan dari Daerah Istimewa Yogyakarta.

Selanjutnya, pada tanggal 22 Juni 1949 di Jakarta, Delegasi Indonesia mengadakan pertemuan dengan Delegasi Belanda, dalam pertemuan tersebut diperoleh kesepakatan bahwa, dalam penarikan Tentara Kerajaan Belanda dari Yogyakarta dilakukan tidak dengan Suspension Of Army karena kedua belah pihak telah memerintahkan kepada pasukannya masing-masing untuk saling menghindarkan pertempuran.

Dalam pertemuan tersebut Milex-Board dari pihak Tentara Kerajaan Belanda menyampaikan, akan menarik pasukannya dari Daerah Istimewa Yogyakarta mulai tanggal 24 Juni 1949, sedangkan Menteri Negara Koordinator Keamanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga menyampaikan, akan memerintahkan kepada TNI supaya menghindarkan pertempuran dengan tentara Belanda saat proses penarikan Tentara Kerajaan Belanda tersebut.

Setelah jadwal penarikan Tentara Kerajaan Belanda di keluarkan, maka sesuai perintah Menteri Koordinator Keamanan Negara Sri Sultan Hamengku Buwono IX, maka dalam hal ini pasukan Wehrkreise III termasuk seluruh sub di bawahnya, yang berada di bawah pimpinan Letnan Kolonel Soeharto segera melakukan konsolidasi pasukannya guna mempersiapkan penerimaan kembali pos-pos yang akan di tinggalkan oleh tentara Belanda.

Begitu juga pasukan TNI lainnya di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta seperti dari, Akademi Militer, Polisi Negara, Mobile Brigade, dan CPM Detasemen I.

Dalam proses penarikan tentara kerajaan Belanda dari Daerah Istimewa Yogyakarta telah disepakati oleh kedua belah pihak untuk menyerahkan urusan teknis pelaksanaannya kepada beberapa tim pengawas yang terdiri dari Military Observer dari pihak UNCI, Liaison Official dari pihak RI, serta perwakilan dari pihak Belanda.

Penarikan pasukan tentara kerajaan Belanda dari pos-pos nya dilakukan sebagai berikut;

Milobs bersama-sama dengan Liaison Officer Republik Indonesia datang ke pos Belanda Kemudian beberapa orang Liaison Officer pergi ke tempat persiapan pasukan-pasukan TNI dan kepolisian pamong praja yang telah bersiap untuk menduduki pos-pos yang akan ditinggalkan oleh Belanda.

Apabila pasukan-pasukan tersebut telah siap, maka Liasion Officer kembali lagi untuk memberi laporan kepada Milobs kemudian diteruskan kepada komandan T-Brigade dan selanjutnya tentara Belanda mulai ditarik dari pos-pos tersebut dengan berjalan kaki.

Sedangkan barang-barangnya di angkut dengan kendaraan bermotor dan di ikuti oleh salah satu Milobs yang ditugaskan pada pihak Belanda sedangkan Milobs yang lainnya bersama Liaison Officer tetap tinggal di tempat tersebut untuk memberi tanda kepada pasukan pasukan RI yang akan mengambil alih pos tersebut.

Ketika Belanda telah cukup jauh meninggalkan pos dan jika ada tanda telah diberikan maka rombongan dari pihak RI segera masuk dalam pos-pos, pasukan-pasukan segera memeriksa keadaan tempat yang akan di duduki dan jika dirasa aman maka mereka akan segera mendirikan markas di pos yang baru diduduki tersebut.

Di pos yang di duduki tersebut, pihak RI mengadakan upacara sederhana, mengibarkan bendera sang merah putih di iringi lagu Indonesia Raya disaksikan Milobs Team dan Liaison Officer, setelah upacara tersebut selesai, Milobs Team dan Liaison Officer meninggalkan pos tersebut untuk kembali ke kota Yogyakarta.

Dalam hal ini setelah proses penarikan Tentara Kerajaan Belanda di jalankan, maka Menteri Negara Koordinator Keamanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX menjelaskan, bahwa dari 24 pos yang berada di luar kota Jogjakarta yang ditinggalkan oleh tentara Belanda, hanya 13 yang di duduki oleh pasukan-pasukan Republik Indonesia sedangkan pos-pos lainnya tidak di duduki, karena pos-pos tersebut dianggap tidak terlalu penting ditinjau dari segi keamanannya.

Secara umumnya proses penarikan Tentara Kerajaan Belanda dari Daerah Istimewa Yogyakarta hingga tanggal 29 Juni 1949 berjalan lancar dan aman, momentum ini pun disempurnakan dengan keluarnya Proklamasi 30 Juni 1949.

PROKLAMASI

Pada hari Kemis tanggal 30 juni 1949 Kekuasaan pemerintah di seluruh Daerah Istimewa Jogjakarta kembali di tangan Pemerintah Republik Indonesia jang berkedudukan lagi di ibu kota Jogjakarta.

Atas Penetapan P.J.M Presiden, Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia, maka buat sementara waktu Kekuasaan Pemerintah Republik, baik sipil maupun militer, di Daerah Istimewa Jogjakarta dipegang dan didjalankan oleh Menteri Negara Koordinator Keamanan dengan dibantu oleh segala Badan Pemerintahan dan Alat Kekuasaan serta Pegawai Negeri jang ada dan hang akan datang di Daerah Istimewa Jogjakarta.

Segala Badan dan Peraturan Negara Republik Indonesia jang ada sebelum hari tanggal pengembalian kekuasaan di tangan Pemerintah Republik Indonesia, langsung berlaku selama tidak diadakan ketentuan lain.

Setelah keadaan mengidzinkan, maka segera P.J.M. Presiden, P.J.M. Wakil Presiden serta anggauta-anggauta Pemerintah Republik Indonesia lainnja kembali ke Jogjakarta.

Jogjakarta, 30 Juni 1949.
Atas nama PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MENTERI NEGARA KOORDINATOR KEAMANAN
HAMENGKU BUWONO IX

Maka hasil terbesar dari pemerintahan transisi itu adalah Jogja Kembali yang berlangsung pada tanggal 24 Juni 1949 hingga 30 Juni 1949 dan di akhir penarikan Sri Sultan Hamengku Buwono memproklamirkan Proklamasi 30 Juni 1949, yang diartikan bahwa bangsa Indonesia terbebas dari penjajahan Belanda.

Dan terbukti setelah peristiwa ini segala alat negara bisa melaksanakan tugasnya kembali, terutama dalam kaitannya dengan proses diplomasi Indonesia yang kemudian mengantar pada pengakuan kedaulatan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949.

Monumen Jogja Kembali | Gambar via Tribunnews.com
Monumen Jogja Kembali | Gambar via Tribunnews.com

Wasana Kata.

Peristiwa Jogja Kembali merupakan peristiwa yang cukup panjang dan kompleks yang dimulai pada tanggal 24 Juni 1949 hingga tanggal 30 juni 1949, dan akhir dari peristiwa itu ditandai dengan Proklamasi 30 Juni 1949 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Mengenai Peristiwa Jogja Kembali yang ditetapkan pada tanggal 29 Juni 1949, maka sesuai dari catatan sejarah, hal ini berdasar pada penarikan Tentara Kerajaan Belanda dari kota Yogyakarta, sehingga Kota Yogyakarta kembali jadi Ibukota Daerah Istimewa Yogyakarta sekaligus sebagai Ibukota Republik Indonesia, di sinilah akhirnya ditetapkan bahwa setiap tanggal 29 Juni diperingati sebagai Peristiwa Jogja Kembali.

Demikianlah kiranya artikel ini, semoga dapat menambah wasasan dan kekayaan literasi sejarah.

Salam hangat.

Sigit Eka Pribadi.

Referensi artikel: Dari membaca literasi Sejarah Peristiwa Jogja Kembali melalui link Dinas Sejarah Angkatan Darat, Tirto, Historia, wikipedia dan berbagai referensi lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun