"Proudly present", pegelaran drama kolosal til til til eh sal sal sal (Echo), bertema "Goro-goro Demokrat", dan kali ini mengetengahkan judul, Kudeta Keramat Moeldoko, Santet, dan Gejala Runtuhnya Politik yang Berjiwa.
Teloleeettt,,,tembeliiilittt,,,(Efek visual sangkakala) Jreeeeeeng,,,(Audio Mix efek).
Baiklah para pemirsa dan pembaca sekalian, seperti yang telah kita ketahui bersama "goro goro" telah terjadi di Partai Demokrat, sebuah peristiwa "keramat" terjadi, salah satu punggawa pemerintahan yaitu Moeldoko sang KSP melakukan "kudeta keramat" terhadap Demokrat.
Kudeta keramat ini bermula dari sebuah tempat yang bernama Sibolangit Deli Serdang, perhelatan kongres luar biasa dari kelompok yang juga mengklaim diri sebagai kelompok Partai Demokrat yang sah, menyatakan dengan terbuka mengukuhkan Moeldoko sebagai pimpinan baru Demokrat dan menyatakan secara resmi menurunkan "Pangeran Cikeas" Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari tahtanya di Demokrat.
Mengetahui hal ini, merasa sebagai pemimpin sah Partai Demokrat, maka AHY pun langsung murka dan meradang, "Raja Junior Cikeas" ini, bermaklumat kepada khalayak ramai, bahwasanya Demokrat pimpinan Moeldoko adalah "abal-abal", mereka adalah hanya merupakan "gerombolan ugal-ugalan begal politik".
Namun demikian, maklumat "sang Raja Junior Cikeas" tersebut tak di indahkan, Demokrat Kubu Moeldoko tetap percaya diri menyatakan bahwasanya merekalah Demokrat yang sejati.
Sementara itu, mengetahui ternyata Demokrat Kubu Moeldoko tetap ngotot menyatakan sebagai Demokrat yang sah, maka Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Sang Ketua Majelis Tinggi Demokrat alias "Sang Raja Senior Cikeas" alias juga "The Pepo", sangat geram atas "kudeta keramat" Moeldoko tersebut, sehingga turut mendukung maklumat "sang putra mahkota", dan menyatakan "perang" terhadap Demokrat Kubu Moeldoko.
Bahkan, sejumlah punggawa Demokrat Kubu AHY lainnya di berbagai daerah seperti di antaranya dari Kabupaten Lebak dan Provinsi Sulsel mendukung penuh pernyataan perang SBY "The Pepo".
Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya turut bermaklumat, mengancam akan menebarkan santet terhadap Kubu Moeldoko, sementara Ketua Demkorat Sulsel, Nikmatulah bermaklumat untuk mengajak perang fisik secara terbuka, pasukannya pun katanya sudah siap siaga menunggu perintah komando, dengan badik terhunus siap di gerakkan untuk perang.
Wow, sungguh sangat "uwuw" sekali terkait kisruh dualisme atau terbelahnya Demokrat ini, berawal dari kudeta keramat, pernyataan perang fisik, hingga akhirnya tengara perang mistik pun turut dimaklumatkan.
Tak hanya pasukan manusia saja dipersiapkan, ternyata pasukan yang bukan manusia dari dunia mistis turut dipersiapkan, begitu juga santet, teluh, sihir, dan sejenisnya turut dipersiapkan dan sekali lagi "wow uwuw bingitz".
Oh tidak, ternyata yang terhormat Ibu Iti OJ sang Bupati Lebak dan yang terhormat Bapak Nikmatulah Ketua Demokrat Sulsel, sudah mulai "edan", akibat kena efek "kudeta keramat" Moeldoko, ngomongnya ke khalayak ramai malah tak pantas, terkesan tidak "berotak" dan asal "jeplak".
Entahlah, apakah Demokrat Kubu Moeldoko juga telah mempersiapkan diri, menyiapkan amunisi perangnya juga, atau bahkan menyiapkan benteng-benteng jimat penangkal santet, atau mungkin sedang terbahak kegelian terkait polah para pengikut Demokrat Kubu AHY tersebut yang terlihat mulai panik atas serangan kudeta keramat yang dilancarkan.
Tapi yang jelas, Demokrat Kubu Moeldoko lah yang telah menyulut perang ini melalui kudeta keramat, dan tentunya mereka sudah tahu konsekuensinya bagaimana, sehingga tentunya mereka pasti juga telah punya strategi perang dalam menghadapi Demokrat Kubu AHY.
Bahkan ternyata, pegelaran KLB yang diadakan di sibolangit Deli Serdang tersebut memang terkesan sangat keramat dan "mistis", bayangkan saja, di tengah  ancaman "pagebluk" pandemi korona yang masih melanda negeri, tapi KLB bisa tergelar secara rapi dan lancar jaya.
Tidak ada pembubaran oleh aparat yang berwenang terkait aturan kerumunan massal dan penegakan protokol kesehatan di tengah pandemi korona, padahal jelas sekali terlihat kasat mata bagaimana realita dari kerumunan massal tersebut.
Entah di mana para aparat yang berwenang ini, tidak ada satu pun yang terlihat "batang kupingnya", apakah sedang "micek" ataukah mungkin sedang ketiduran, mungkin tahu tapi takut membubarkan, atau entahlah, sehingga semuanya masih serba misterius dan terkesan "mistis".
Yah, begitulah episode demi episode drama kolosal "Goro-goro Demokrat" ini berlangsung, sungguh miris dan memprihatinkan, masyarakat dipertontonkan realitas politik yang sangat tidak mendidik, dari intrik politik dan skandal politik terjadi begitu kotornya, strategi politik "jorok" hingga "irrasional" tergambar begitu gamblangnya.
Betapa begitu sangat menyedihkan dan mengenaskan, karena begitu nyata sekali kegoblokan-kegoblokan para oknum politikus dari masing-masing pihak yang bersengketa dipertontonkan secara terbuka, realitas politik "menjijikkan" justru yang diperdidikkan kepada masyarakat.
Ketidakwarasan politik sudah mulai menggejala di negeri ini, atau mungkin memang sudah tidak ada lagi politik sejati, politik tidak lagi berjiwa, tidak lagi berhati nurani, tidak lagi berkiblat kepada masyarakat, sehingga politik semakin ke sini hanyalah mengumbar syahwat kuasa masing-masing.
Entahlah, apakah akan terus dan terus politik di negeri ini hanya selalu memuaskan birahinya soal kekuasaan, ataukah kembali kepada politik sejati yang berjiwa.
Ya, Goro-goro Demokrat ini masih salah satu gambaran nyata realitas politik di negeri ini, sebab kalau menengok sebelumnya ke belakang, realitas politik tentang dualisme suatu partai juga jadi bukti sejarah, sehingga turut membuktikan bagaimana ternyata realitas politik di negeri ini adalah menghalalkan segala cara demi memenuhi kepentingat syahwat untuk berkuasa.
Kemudian bagaimanakah ke depan episode selanjutnya terkait gelaran drama kolosal Goro-goro Demokrat, kita tunggu saja perkembangan teraktualnya.
Ya, Sungguh pun memang kenyataannya semakin ke sini realitas politik di negeri ini semakin ke sini terkesan semakin tidak waras, yang jelas kita tetap boleh berharap, meskipun sekecil apapun harapan itu, semoga saja kiranya ke depan, politik di negeri dapat kembali sejati kepada politik yang betatakrama, beretika, beradab dan berjiwa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H