Tidak hanya itu, komunikasi publik juga sering tidak konsisten atau plintat-plintut, istilahnya pagi bilang begini, siang bilang begitu, lalu malamnya bilang begono, bahkan parahnya lagi kerap juga blunder.
Bahkan ternyata, pernah sampai terjadi misleading, masalah sudah menjadi salah paham dan salah pemahaman, terjadi miss informasi dan disinformasi, semakin meruncing hingga tercipta konflik seperti saat launcing UU Ciptaker yang silam.
Lalu, seperti yang juga jadi polemik teranyar, ketika Presiden Jokowi memberi pernyataan ajakan kepada publik untuk mencintai produk dalam negeri dan "benci" terhadap produk asing.
Padahal pemerintah sendiri sedang mengembar gemborkan masuknya investasi asing, tapi pernyataan Presiden Jokowi justru berbanding kontradiktif, malahnya publik disuruh membenci produk luar negeri.
Penulis sih sebenarnya agak sedikit yakin, mungkin maksud Presiden Jokowi bukan seperti itu sih, mengajak membenci produk luar negeri, mungkin Presiden Jokowi bermaksud mem-branding produk dalam negeri, agar lebih dicintai publik, tapi yaitu itu, sayang banget ada sedikit blunder, tentang narasi penyampaiannya, kenapa sih kok mesti harus ada kata "benci."
Padahal sebenarnya kalau misal ya, ini misal loh ya, Presiden Jokowi cuman menarasikan untuk mencintai produk dalam negeri tanpa embel-embel menggaungkan ajakan kebencian, ya ga bakal jadi polemik, tapi ya mau bagaimana lagi, sudah telanjur begitu dan jadi polemik.
Mau engga mau, para bawahannya harus sibuk mencari narasi yang bisa setidaknya mengcounter apa yang sudah telanjur jadi pernyataan Presiden Jokowi tersebut dan ini wajar, dan memang sudah harus jadi kewajiban para bawahannya agar selalu sigap dalam membuat klarifikasi dan sanggahan untuk tetap menjaga kredibilitas Presiden dan pemerintah.
Nah, inilah setidaknya yang jadi gambaran gamblang, terkait bagaimana rapuhnya komunikasi publik pemerintahan Jokowi ini, yang pada realitanya sering juga bikin blunder dan menyebabkan misleading di antara publik.
Di sinilah yang seyogianya bisa menjadi perhatian mendasar dari pemerintah agar kiranya ke depan, mau berlapang dada dan berbesar hati, dapat mengevaluasi dan memperbaiki komunikasi publiknya.
Tapi entahlah, karena semua juga tinggal bagaimana keikhlasan dari para pejabat penyelenggara negara ataupun para pejabat publik, mau atau tidak, ya terserah saja.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!