Semua pejabat penyelenggara negara ataupun pejabat publik itu adalah berperan juga sebagai duta komunikator bagi suatu pemerintahan kepada publik.
Sehingga sebagai duta komunikator publik, pejabat penyelenggara negara ataupun pejabat publik adalah memiliki tanggung jawab yang teramat penting untuk menjaga agar informasi yang ada dan disampaikan di publik tidak berdampak buruk, sekaligus tidak semakin menjerumuskan publik kepada hal-hal negatif yang dapat menimbulkan kontradiktif.
Oleh karenanya, pejabat penyelenggara negara ataupun pejabat publik haruslah wajib sangat berhati-hati dalam memberikan ataupun menyampaikan pernyataan kepada publik.
Ini karena juga, setiap gaya bahasa, narasi, dan pilihan kata yang terucap kepada publik tersebut, tentunya akan disimak dan didengar oleh publik, sehingga akan sangat berdampak memberikan kesan yang mendalam di benak publik, dan kalau pun sudah telanjur terucap akan sangat sulit ditarik kembali.
Yang jelas, dari sependek wawasan penulis, komunikasi publik pemerintah yang efektif dan efesien itu haruslah mempertimbangkan perasaan dan pikiran publik yang berlandaskan atas manajemen pengelolaan isu yang sudah valid, transparan, berpikiran progresif, visioner, memiliki strategi, serta mampu membuat narasi pesan yang positif dan optimis kepada seluruh publik.
Nah sampai di sini, maka inilah yang jadi menambah persoalan dalam tubuh pemerintahan Jokowi, sudah berbagai produk kebijakannya sering sekali "plintat-plintut", ternyata disempurnakan juga dengan komunikasi publik yang sering sekali "belepotan" dan terkesan rapuh.
Sila baca ini Jokowi di Antara Produk Kebijakan Publik yang Sering Plintat-plintut
Pernyataan para pejabat penyelenggara negara atapun para pejabat publik sering tidak sejalan antara yang diucapkan dengan realita tindakan, sering saling tidak sinkron diantara lingkup pemerintahan sendiri.
Sering juga menggunakan bahasa elitis dengan bermacam diksi ataupun frasa asing yang belum mampu dicerna oleh seluruh lapisan masyarakat, seperti new normal misalnya, psyhical distancing misalnya, dan sebagainya.
Sehingga maksud dan tujuan yang diinginkan dari komunikasi publik tersebut jadi tidak tersampaikan dengan efektif dan efisien, yang akhirnya berdampak pada munculnya interpretasi bebas dari konsep-konsep yang beredar, perbedaan persepsi dari topik yang sedang dibicarakan, rancu, ambigu, dan multitafsir.