Maraknya penangkapan para pejabat penyelenggara negara oleh KPK karena perbuatan kejahatan korupsi, kolusi dan nepotisme atau KKN, sepertinya juga turut menguak jenis tipologi kejahatan "kerah putih" atau "white collar crime" yang pada faktanya praktiknya semakin telanjang.
Kekhasan kejahatan white collar crime ini adalah penyalahgunaan jabatan dan kekuasaan, baik itu di ranah eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Bahkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan cara white collar crime ini sudah semakin bersekongkol atau berlaku simbiosis mutualisme dengan pihak swasta dalam bentuk badan hukum atau korporasi.
White collar crime sendiri kalau dikaitkan secara yuridis dengan ius constitutum telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Pasal 3, yang berbunyi;
"Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (Satu Miliar Rupiah)."
Jadi amat jelaslah sudah apa yang dilakukan oleh Nurdin Abdullah Cs, termasuk juga para koruptor seperti Juliar Batubara Cs, Edhy Prabowo Cs dan para koruptor lainnya di negeri ini telah membuktikan.
Bahwasanya kejahatan white collar crime atau para "kerah putih" memang benar-benar sudah semakin "bugil", karena konsep dan praktiknya sudah berlaku secara terstruktur, sistematis dan masif atau TSM.
Ya, sungguh sangat miris, sangat parah dan memprihatinkan, betapa sudah sangat sebegitu mendarah daging, mengakar dan membudayanya kejahatan korupsi di negeri ini.
Entahlah kenapa juga bisa sampai sebegitunya kejahatan korupsi di negeri ini, bahkan praktik white collar crime sudah berlaku secara terstruktur, sistematis dan masif.
Tapi sih, kalau bisa dimungkinkan, maka bisa jadi hal ini terjadi karena adanya praktik kepentingan politik dan oligarki dalam kegiatan bisnis, sehingga pihak korporasi mau tidak mau untuk bisa menang tender atau dapat proyek dari birokrat ataupun pihak birokrasi, akan berusaha lobi-lobi ataupun menghalalkan segala cara untuk dapat jatah tender ataupun proyek tersebut.
Namun tidak dimungkiri juga penyebab KKN ini adalah dari sifat alami manusia itu sendiri, sehingga istilah "tidak ada manusia yang sempurna" mungkin memang benar adanya, bahwa biar bagaimana pun sejujur-jujurnya manusia, pasti pernah mengalami khilaf atau kesalahan, bahwa semua manusia memiliki potensi untuk melakukan khilaf berupa kesalahan ataupun kejahatan.
Akan tetapi juga, tidaklah menutup fakta, bahwa white collar crime disebabkan karena memang dari manusianya sendiri yang rakus dan serakah, karena orientasinya yang tidak akan pernah berhenti dan tidak akan ada rasa puas serta tak pernah bersyukur.
Selain itu, faktor pengawasan, pemeriksaan dan pengendalian internal masih dirasa sangat lemah, sehingga membuat celah yang dapat dimanfaatkan para oknum di dalam birokrasi dan korporasi yang pada akhirnya justru para "kerah putih" dapat bebas mengintervensi perangkat internal, seperti pihak Inspektorat misalnya, pihak Bawasda misalnya, pihak Auditor misalnya, dan lain lainnya dalam lingkup birokrasi dan korporasi.
Tidak kalah ketinggalan adalah, "taring" hukum terkait hukum pidana terhadap koruptor masih sangat tumpul, tidak menimbulkan efek jera, bahkan hukum malah sering berlaku tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, hukum di negeri ini terkesan semakin kehilangan harga dirinya ketika harus berhadapan dengan kasus besar yang melibatkan orang yang besar atau pejabat.
Nah, begitulah kira-kiranya terkait kejahatan korupsi dengan tipologi white collar crime ini, dan memang untuk memberantasnya cukuplah sulit, karena perlu penanganan khusus yang terintegrasi.
Seperti halnya juga dalam kasus Nurdin Abdullah Cs, Edhi Prabowo Cs, dan Juliar Batubara Cs ini misalnya, yang terkait tender ataupun proyek antara birokrasi dan korporasi sesuai kepentingan dan motifnya masing-masing.
Sejatinya, langkah pencegahan ataupun preventif adalah merupakan salah satu solusi dalam rangka mengatasi kejahatan korupsi dengan cara white collar crime ini.
Seperti misal, melakukan kerja sama menyeluruh dan terintegrasi dari semua sub-sistem hukum, baik itu antara masyarakat, pemerintah
dan penegak hukum, termasuk halnya menguatkan sistem Wasrikdal internal kementerian maupun lembaga.
Atau mungkin melakukan reformasi birokrasi untuk mengubah Inspektorat jadi independen seperti KPK misalnya, atau setidaknya wewenangnya dalam Wasrikdal internal ada di bawah kendali presiden langsung seperti KPK misalnya, dan sebagainya.
Tapi entahlah, karena itu semua tinggal bagaimana pemerintah saja, namun setidaknya kalau perangkat organisasi seperti Inspektorat dalam Kementerian dan Lembaga itu kuat dan ketat, minimal dapat mencegah niat atau motif untuk korupsi.
Yang jelas hingga kekinian, peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah masih yang paling penting ataupun krusial, mudah-mudahan saja KPK di negeri ini dapat mengemban amanahnya dengan penuh integritas, sehingga korupsi di NKRI ini dapat diberantas tuntas sampai ke akar-akarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H